Wednesday 31 December 2014

MEMBACA SURAH AL-KAHFI SUNNAH YANG DILUPAKAN


Bilakah Waktu Membaca Surah Al-Kahfi Pada Hari Jumaat

Berdasarkan sunah, bilakah waktu yang benar untuk membaca surah Al-Kahfi di hari Jumaat? Apakah dibaca setelah fajar sampai sebelum solat Jumaat. Atau bila-bila saja pada hari itu? Begitu juga bacan surat Ali Imran di hari Jum’at, apakah hal itu ada dalam sunnah? Jika jawabannya ya, bilakah waktu membacanya?


Jawapan:
Alhamdulillah
Ada hadits yang shahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam keutamaan bacaan surat Al-Kahfi di hari Jum’at atau malamnya di antaranya adalah:

a. HADITH PERTAMA

Dari Abu Said Al-Khudri berkata,

من قرأ سورة الكهف ليلة الجمعة أضاء له من النور فيما بينه وبين البيت العتيق (رواه الدارمي، رقم 3407، والحديث : صححه الشيخ الألباني في " صحيح الجامع، رقم 6471)

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum'at, maka dia akan diterangi dengan cahaya antara dia dan ke Bailul Atiq (Mekkah).” (HR. Ad-Darimi, no. 3407, Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 6471)

b. HADITH KEDUA

من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين
(رواه الحاكم، 2 / 399 والبيهقي، 3/249 والحديث: قال ابن حجر في تخريج الأذكار:  حديث حسن ، وقال : وهو أقوى ما ورد في قراءة سورة الكهف)

“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka dia akan diterangi dengan cahaya di antara dua Jum’at.”(HR. Hakim, 2/399. Baihaqi, 3/29). 

Hadits ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam ‘Takhrij Al-Adzkar', hadits hasan, dan ini merupakan riwayat terkuat tentang bacaan surat Al-Kahfi.

Silahkan lihat ‘Faidhul Qadir, 6/198. Dishahihkan oleh Syekh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 6470.


c. HADITH KETIGA

 Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة سطع له نور من تحت قدمه إلى عنان السماء يضيء له يوم القيامة ، وغفر له ما بين   الجمعتين
“Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka akan diterangi dari bawah kakinya sampai ke atas langit. Disinari baginya di hari kiamat, dan akan diampuni diantara dua Jum’at.” Al-Mundziri mengatakan, “Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Mardawaih dalam tafsirnya dengan sanad standard. (At-Targhib wat Tarhib, 1/298)

Surah ini dapat dibaca pada malam Jum’at atau hari Jum’at. Malam Jum'at dimulai dari terbenam matahari pada hari Kamis, dan selesai hari Jum'at dengan terbenam matahari. Dari sini, maka waktu bacaannya adalah dari sejak matahari terbenam pada hari Khamis hingga matahari terbenam pada hari Jum'at.

Al-Manawi berkata, “Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab ‘Amalihi’ mengatakan, “Demikian pula, terdapat riwayat ‘Hari Jum'at’ dan dalam redaksi lain ‘Malam Jum'at’. Maka pemahamannya dapat digabungkan bahwa maksudnya adalah sehari dengan malamnya, atau malam dengan harinya." (Faidhul Qadir, 6/199)

Al-Manawi menambahkan juga, “Dianjurkan membacanya pada hari Jum'at begitu juga pada malamnya sebagaimana ditegaskan oleh Syafi’i rahimahullah.” (Faidul Qadir, 6/198)

Tidak ada hadits shahih terkait dengan bacaan surat Ali Imran pada hari Jum'at. Semua periwayatan akan hal itu adalah lemah atau palsu.

“Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ السورة التي يذكر فيها آل عمران يوم الجمعة صلى الله عليه و ملائكته حتى تحجب الشمس (رواه الطبراني في " المعجم الأوسط، 6/191، والكبير، 11/ 48)

“Barangsiapa membaca surat yang disebut Ali Imran pada hari Jum'at, maka para Malaikat akan mendoakan (shalawat) kepadanya sampai matahari tertutupi.” (HR. Thabrani, dalam Mu’jamul Ausath, 6/191 dan dalam Al-Kabir, 11/48), Hadits ini lemah sekali atau palsu.

Al-Haitsami mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu'jam Ausath dan Al-Kabir; Di dalamnya terdapat perawi Thalhah bin Zaid Ar-Raqi. Beliau sangat lemah. (Majma Az-Zawaid, 2/168)

Ibnu Hajar berkomentar, “Thalhah lemah. Ahmad dan Abu Daud mengaitkannya dengan (hadits) pemalsuan (hadits)." (Silahkan melihat Faidul Qadir, 6/199)

Syekh Al-Albany mengatakan, “Hadits ini palsu. Silahkan lihat hadits no. 5759 dalam kitab Dhaif Al-Jami. Di antaranya apa yang diriwayatkan oleh At-Taimy dalam kitab At-Targhib, 

"Barangsiapa membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran pada malam Jum'at, maka dia akan mendapatkan pahala seperti antara Baida’, yakni bumi ketujuh, dan ‘Aruba, yakni langit ketujuh." (Al-Manawi mengatakan, aneh dan lemah sekali." (Faidhul Qadir, 6/199)
Wallahua’lam
Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajid

Tuesday 30 December 2014

PENDIDIKAN AGAR MANUSIA BERAKHLAK KARIMAH DAN TIDAK BIADAB


 
Tujuan utama Pendidikan Islam, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” (hal. 150-151).
 
Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia beradab lainnya. Manusia beradab juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah swt.
 
Dalam al-Quran dikatakan, manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah Allah di muka bumi (QS al-Baqarah: 30). Manusia dikaruniai akal, bukan hanya hawa nafsu dan naluri. Tugas manusia di bumi berbeda dengan binatang. Manusia bukan hanya hidup untuk memenuhi syahwat atau kepuasan jasadiahnya semata. Ada kebutuhan-kebutuhan ruhaniah yang harus dipenuhinya juga. Semua fungsi dan tugas manusia itu akan bisa dijalankan dengan baik dan benar jika manusia menjadi seorang yang beradab.

Apakah adab itu? Mungkin, setiap manusia Indonesia hafal bunyi sila kedua dari Pancasila, yaitu: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Tapi, apakah banyak yang paham, sebenarnya, apa arti kata ”adil” dan kata ”beradab” dalam sila tersebut? Mungkin Presiden atau para pejabat negara juga tidak paham benar apa makna kata-kata “adil” dan “beradab”, sebab faktanya, banyak pejabat yang perilaku dan kebijakannya tidak adil dan tidak beradab. Lihatlah, banyak pejabat menggunakan mobil dan sarana mewah dengan uang rakyat, padahal begitu banyak rakyat yang kelaparan, kurang gizi, tidak bisa berobat dan kesulitan biaya pendidikan.
 
Di tengah jeritan banyak orang yang kesulitan biaya pendidikan sekolah anak-anaknya, muncul kebijakan membuat patung-patung di berbagai tempat. Tentu dengan uang rakyat. Saya pernah SMS seorang menteri dari sebuah partai Islam karena meresmikan sebuah patung bernilai Rp 2 milyar. Ia menjawab, bahwa patung itu dibiayai oleh pengusaha, bukan dari anggaran negara. Meskipun begitu, menurut saya, tidak sepatutnya sang menteri meresmikan patung tersebut. Kita semakin sering mendengar pejabat berteriak, mari rakyat hemat BBM (Bahan Bakar Minyak), karena subsidi BBM sudah terlalu berat. Tapi, tengoklah, apakah mobil pejabat tersebut hemat BBM? Mobilnya impor; biaya operasionalnya bisanya ditanggung oleh uang rakyat, dan itu jelas boros. Kenapa Presiden dan para pejabat tidak menggunakan mobil yang sederhana dan hemat BBM? Tentu tidak menjadi soal jika mobil itu dibeli dengan uangnya sendiri dan BBM-nya juga beli sendiri, tidak menggunakan uang rakyat.
 
Mari kita lihat contoh lagi! Ini terjadi bukan hanya di kalangan pejabat, bahkan di kalangan ulama dan tokoh agama. Begitu sering kita mendengar seruan untuk menjadi orang taqwa. Kata ”taqwa” begitu mudah diucapkan; lancar didengarkan; pejabat bicara taqwa, ulama berkhutbah meyerukan taqwa. Ayat al-Quran juga sering dilantunkan: Yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang taqwa (Inna akramakum ’inda-Allaahi atqaakum).
 
Bicara dan ngomong taqwa memang mudah. Tapi, apa benar-benar seruan taqwa itu dijalankan, bahkan oleh para ulama dan tokoh agama? Alllah menyebutkan, bahwa yang paling mulia adalah yang paling taqwa, bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling cantik wajahnya, bukan yang paling populer, dan juga bukan yang paling tinggi jabatannya. Pesan al-Quran jelas: hormatilah yang paling taqwa! Tapi, lihatlah contoh-contoh dalam kehidupan nyata. Lihatlah, saat para tokoh agama menggelar hajatan perkawinan buat anak-nya. Apakah orang taqwa yang didahulukan untuk bersalaman atau pejabat tinggi yang dihormati dan didahulukan. Kadangkala, banyak orang-orang ”kecil” yang sudah mengantri selama berpuluh-puluh menit, bahkan berjam-jam, kemudian harus dihentikan, karena ada pejabat atau mantan pejabat datang; ada orang terkenal datang.
 
Apakah perilaku seperti itu adil dan beradab? Suatu ketika kepada pimpinan sautu partai Islam saya usulkan, agar jangan banyak-banyak membuat bendera dan spanduk kampanye, karena begitu banyak jalan di sekitar kediaman calon-calon legislatif partai itu yang rusak dan berlobang. Lucunya, sang calon bukan membeli semen atau aspal untuk m memperpaiki jalan, tetapi malah mencetak poster dan profil dirinya lalu dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitarnya. Seorang Ustad di Depok bercerita kepada saya, ia juga pernah menasehati seorang calon anggota legislatif yang datang kepada dirinya, meminta dukungan. Ustad itu menasehati sang calon, gunakan uang kampanye anda untuk membantu pedagang-pedagang muslim di pasar-pasar rakyat yang kini terjepit rentenir. Ini nasehat yang sangat baik, agar seorang aktivis politik Muslim bersikap adil dan beradab.
 
Lalu, apakah yang dimaksud dengan makna ”adil” dan ”beradab” dalam sila kedua Pancasila?

Seperti diketahui, rumusan sila kedua itu merupakan bagian dari Piagam Jakarta yang dilahirkan oleh Panitia Sembilan BPUPK, tahun 1945, dan kemudian disahkan dan diterima oleh bangsa Indonesia, sampai hari ini. Sila kedua ini juga lolos dari sorotan berbagai pihak yang keberatan terhadap sebagian isi Piagam Jakarta, terutama rumusan sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
 
Jika dicermati dalam sudut ”pandangan-alam Islam” (Islamic worldview), lolosnya sila kedua sebagai bagian dari Pancasila, itu cukup menarik. Itu menunjukkan, pengaruh besar dari konsep Islam terhadap rumusan sila kedua tersebut. Perlu dicatat, rumusan sila kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.
 
Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat? Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”. Sebab, kedua istilah dan konsep itu memang istilah yang khas Islam. Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di wilayah Nusantara? Apakah bahasa Jawanya ”adil”? Apakah bahasa Sundanya ”adab”?
 
Bisa disimpulkan, kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu harus dicarikan maknanya dalam Islam. Minimal, tidaklah salah, jika orang Muslim di Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami. Rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan, bahwa Pancasila sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau konsep netral agama, sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini.
 
Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila. Itu juga ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang maknanya sangat khas Islam, seperti kata “hikmah” dan “musyawarah”. Karena dua kata – adil dan adab -- ini jelas berasal dari kosakata Islam, yang memiliki makna khusus (istilaahan), maka hanya bisa dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-alam Islam.
 
Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).
 
Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis Hamka.
 
Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan berubah maknanya. Sejumlah aktivis ”Kesetaraan Gender” atau feminis liberal, yang berpedoman pada konsep “setara” menurut pandangan-alam Barat, misalnya, mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
 
Dipertanyakan, misalnya, mengapa aqiqah untuk bayi laki-laki, misalnya, adalah dua kambing dan aqiqah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Menurut konsep yang lain, bisa dikatakan tidak adil. Dalam pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat” dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi kepada seorang terhukum.
 
Tetapi, dalam Islam, yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluar korban kejahatan. Jadi, kata adil, memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-alam apa yang digunakan. Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM, menilai aturan Islam tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan, tidak mengganggu orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup. Dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kemanusiaan yang adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut pandangan-alam Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang hakiki.
 
Bagi kaum Muslim, khususnya, cendekiawan Muslim Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).
 
Contoh kasus penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 60).
 
Disamping istilah ”adil”, istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Istilah adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi saw. Misalnya, Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Akrimuu auladakum, wa-ahsinuu adabahum.” Artinya, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. (HR Ibn Majah). Sejumlah ulama menulis kitab terkait dengan adab, seperti al-Mawardi (w. 450 H), menulis Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad bin Sahnun at-Tanwukhi (w. 256 H) menulis Adab al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, juga al-Khatib al-Baghdadi ( w. 463 H) menulis al-Jami’ li-Akhlaq al-Rawi wa Adab as-Sami’.

Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul Adabul ‘Aalim wal-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.” (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
 
Dikutip juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “In kaana al-rajulu la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina.” (Hendaknya seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun). Habib bin as-Syahid suatu ketika menasehati putranya: “Ishhabil fuqahaa-a wa ta’allam minhum adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal hadiitsi.” (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka. Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadits.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Yaa bunayya ij’al ‘ilmaka milhan wa adabaka daqiiqan.” (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung). Ibn al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsiirin mina ’ilmi.” (Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).
 
Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”
 
Menyimak paparan pendiri NU tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun”. Maka, tentunya sangat masuk akal jika orang Islam memahami kata adab dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam. Jika adab hanya dimaknai sebagai ”sopan-santun”, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan. Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.
 
Karena itulah, menurut Islam harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS 49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya. Bukan karena jabatannya, kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab, menurut al-Quran.
 
Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya.
 
Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini. Jika budaya santai, budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang disegani dunia. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang Muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah saw juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah swt. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum Muslim.
 
Lebih jauh, Prof. Naquib menjelaskan, bahwa jatuh-bangunnya umat Islam, tergangtung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Lebih jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini menjelaskan, bahwa, ”... adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)).
 
Jadi, dalam Islam, konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam al-Quran, syirik dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman kepada anaknya: ”Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13). Nabi Muhammad saw berhasil membangun peradaban Islam di Madinah, yakni suatu masyarakat yang menegakkan adab dalam kehidupan mereka. Masyarakat beradab – menurut Islam -- adalah masyarakat yang memuliakan orang yang beriman, berilmu, orang yang shalih, dan orang yang taqwa; bukan orang yang kuasa, banyak harta, keturunan raja, berparas rupawan, dan banyak anak buah. Peradaban yang dibangun Nabi Muhammad saw di Madinah adalah sebuah contoh ideal. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang haus ilmu, cinta ibadah, dan cinta pengorbanan. Kondisi itu sangat jauh berbeda denngan kondisi masyarakat Jahiliah, yang merupakan masyarakat yang tidak beradab, alias masyarakat biadab.
 
Pemahaman dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berzina.
 
Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras) (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007).
 
Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan.
 
Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional, yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal. Anak dihargai tinggi jika mampu menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata. Bahkan, sampai pelajaran agama juga diajarkan dalam bentuk kewajiban menghafal dan menjejalkan informasi sebanyak mungkin kepada para siswa.
 
Lihatlah dampak dari cara pengajaran agama yang salah! Banyak anak belajar agama dari tingkat ibtidaiyah sampai aliyah bahkan sampai perguruan tinggi, tetapi kemudian pelajaran agamanya itu seperti tidak berbekas kepada pemikiran dan perilakunya. Bahkan ada yang setelah tingkat tertentu merasa jenuh dan bosan, seperti mau muntah, sehingga tidak tertarik lagi untuk belajar agama. Akibatnya, saat mau masuk jenjang pendidikan tinggi, dia enggan belajar agama lagi, enggan masuk jurusan agama, karena – selain dianggap tidak prospektif untuk mencari kerja – juga dianggap membosankan.
 

Para pendidik, guru, orang tua, ulama, dan dosen, wajib memikirkan masalah pendidikan Islam ini dengan serius. Inilah kunci kebangkitan Islam. Jika pendidikan rusak, maka rusak pula semua sektor kehidupan lainnya. Sebab, di dalam dunia pendidikan inilah seharusnya ditanamkan nilai-nilai kecintaan kepada ilmu, kecintaan kepada ibadah, dan kecintaan kepada pengorbanan.

DIPETIK DRP BUKU: PENDIDIKAN ISLAM MEMBENTUK MANUSIA BERKAREKTER DAN BERADAB OLEH DR ADIAN HUSAINI

PERKAHWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN DAN SUNNAH NABI


Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala SESUAI dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.

Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkahwinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.

Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum : 30).


A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).


B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :

"Ertinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :

"Ertinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengahwini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku". (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab".


Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, walaupun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesihatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.


Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.


Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kahwin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:

"Ertinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkahwin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".(An-Nur : 32).


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :

"Ertinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.



Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan". (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20). 

Sunday 28 December 2014

AL-QUR'AN KITABULLAH DAN NABI MUHAMMAD PESURUH ALLAH


Apakah AI-Quran itu
dan Siapakah Muhammad itu?


Al-Quran adalah firman Allah sebagai sumber utama untuk setiap keyakinan dan ibadah orang Islam. Hal ini merupakan sebuah peraturan untuk semua subjek yang berhubungan dengan manusia, kebijakan, ajaran, ibadah, jual-beli, hukum, dan lain-lain. Akan tetapi yang Paling utama adalah hubungan antara Allah dan makhluk Nya. Pada saat yang sama, al-Quran juga memberikan pedoman dan ajaran secara mendetail tentang kemasyarakatan, bergaul atau berperi laku dengan sesama manusia dan sistem ekonomi secara adil.

Mushaf al-Quran diturunkan kepada Nabi Muham­mad SAW dalam bahasa Arab. Sehingga banyak terjemahan al-Quran, baik yang diterjemahkan ke daiam bahasa Inggris atau bahasa lain. Tidak ada al-Quran lain atau versi lain al-Quran selain al-Quran itu sendiri. Al-Quran tetap eksis hanya dalam bahasa Arab sejak diturunkan.

Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah, Jazirah Arab, tahun 570 M. Ayahnya meninggal sebelum beliau lahir dan sebentar kemudian ibunya juga meninggal. Akhirnya beliau diasuh pamannya, salah satu orang yang dihormati di suku Quraisy. Dia diasuh dalam keadaan buta huruf tidak dapat membaca atau menulis dan tetap dengan keadaan demikian sampai meninggal. Begitu beliau tumbuh dewasa, dia terkenal sebagai seorang yang jujur, terpercaya, dermawan, dan tulus hati. Karena dia orang yang dapat dipercaya, dia mendapat julukan al-Amin.

Nabi Muhammad SAW sangat tafakur dan dia sangat dibenci oleh masyarakat yang menyembah berhala sepanjang dekade. Pada waktu berumur empat puluh tahun, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali dari Allah SWT melalui malaikat Jibril. Wahyu itu berlangsung selama 23 tahun dan terkumpul dalam sebuah mushaf yang terkenal dengan nama al-Quran.

Hadis adalah perkataan Nabi Muhammad SAW yang juga dijadikan sumber kedua. Akan tetapi, pernyataan ini tidak dijadikan susunan kata secara langsung dari Allah. Sesegera mungkin dia mulai menyampaikan al-Quran dan mengajarkan kebenaran yang telah Allah turunkan kepadanya, dia dan pengikutnya yang masih sedikit mendapat penyiksaan dari orang-orang kafir. Penganiayaan itu semakin berat sampai tahun 622 M, dimana Allah memerintahkan mereka untuk berhijrah.

Hijrah ini dari kota Makkah ke kota Madinah, sekitar 400 kilometer ke arah utara. Peristiwa hijrah ini lantas dijadikan sebagai pedoman kalender Hijriah.

Setelah beberapa tahun, Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya sanggup untuk kembali ke Makkah di mana mereka memaafkan musuh-musuhnya. Sebelum Nabi Muhammad SAW meninggal pada umur 63 tahun, Islam telah menyebar ke seluruh ke Jazirah Arab. Dan sampai berabad-abad sepeninggainya, Islam telah menyebar ke Barat sampai ke Spanyol dan ke Timur sejauh Cina.

Di antara alasan-alasan mengapa Islam cepat berkembang dan menyebar karena Islam mengajarkan kebenaran dan perdamaian. Islam memiliki keyakinan, mengajarkan, dan merupakan agama tauhid, yaitu yang hanya menyembah satu tuhan, satu-satunya Tuhan yang patut disembah.


Nabi Muhammad SAW adalah contoh teladan yang memiliki sifat jujur, adil, murah hati, selalu mengasihi, dan pemberani. Dia menghilangkan semua tindak kejahatan dan berusaha sejauh mungkin semata-mata demi agama Allah dan pahala-Nya di akhirat nanti. Semua urusan dan perbuatannya dia sandarkan pada Allah.

Saturday 27 December 2014

IMAM AL-BUKHARI, BIODATA DAN SEJARAH RINGKAS البخاري


Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari


Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
 
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.


Keluarga dan Guru Imam Bukhari


Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti "al-Mubarak" dan "al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
 

Kejeniusan Imam Bukhari


Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar-balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.

Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.


Karya-karya Imam Bukhari


Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih."

Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.

Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim  menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."


Penelitian Hadits


Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."

Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.


Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits


Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.

Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".

Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.

Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

 

Terjadinya Fitnah


Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".

Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.

Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."


Wafatnya Imam Bukhari



Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

SEJARAH RINGKAS DAN BIODATA SYEIKH NASIRUDDIN AL-ALBANIالالباني




Hadits merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Al-Qur'an. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW itulah terkandung jawaban dan solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang ilmu hadits, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Al-Albani. Ia merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam abad ini.

Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadits. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari hadits-hadits lemah dan palsu serta meneliti derajat hadits. Al-Albani mempunyai nama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqadar, ibu kota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu. Ayah al-Albani bernama Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul).

Ketika Raja Ahmad Zagha naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga bertolak ke Damaskus. Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Al-Albani kecil masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Ia terus belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat Ibtida'iyah.

Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syeikh. Ia mempelajari Al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, disamping juga mempelajari sebagian fikih madzab Hanafi. Al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya. Pada umur 20 tahun, pemuda Al-Albani mulai mengkonsentrasikan diri pada ilmu hadits. Ketertarikannya itu berawal dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Tulisan-tulisan sang Syeikh, sangat memukau hatinya.

Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul Al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin-nya Al-Ghazali. Awalnya kegiatan Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya. Ia mengomentarinya begini, ''Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).'' Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus. Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya sampai-sampai ia menutup kios reparasi jamnya. Al-Albani lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber.

Syeikh Al-Albani pernah dua kali mendekam dalam penjara. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid'ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.

Pengalaman mengajarnya dilakukan ketika menjadi pengajar di Jami'ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun. Dari tahun 1381-1383 H, ia mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh Al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.

Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, Al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H. Sebelum berpulang, Syeikh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil foto kopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jami'ah. Ia wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.

Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang). Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang terkenal antara lain :
  1. Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah
  5. At-Tawasul wa anwa'uhu
  6. Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha.
Di samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.


Wednesday 24 December 2014

BIODATA DAN SEJARAH RINGKAS IMAM AL-NAWAWIالامام النووي




Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.

Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.

An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].

Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.

Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.

Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.

Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.

Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
  1. Dalam bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
  2. Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
  3. Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
  4. Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.

Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.

Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan didalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).

Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.
Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Syadzaratudz Dzahab 5/354