Tujuan
utama Pendidikan Islam, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam
bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), adalah untuk
menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas,
“The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the
fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab.” (hal. 150-151).
Siapakah
manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia
seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya,
menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan
pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia beradab lainnya. Manusia
beradab juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya,
sebab potensi itu adalah amanah dari Allah swt.
Dalam
al-Quran dikatakan, manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya (QS
adz-Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah Allah di muka bumi (QS al-Baqarah: 30).
Manusia dikaruniai akal, bukan hanya hawa nafsu dan naluri. Tugas manusia di
bumi berbeda dengan binatang. Manusia bukan hanya hidup untuk memenuhi syahwat
atau kepuasan jasadiahnya semata. Ada kebutuhan-kebutuhan ruhaniah yang harus
dipenuhinya juga. Semua fungsi dan tugas manusia itu akan bisa dijalankan dengan
baik dan benar jika manusia menjadi seorang yang beradab.
Apakah adab itu? Mungkin, setiap
manusia Indonesia hafal bunyi sila kedua dari Pancasila, yaitu:
“Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Tapi, apakah banyak yang paham,
sebenarnya, apa arti kata ”adil” dan kata ”beradab” dalam sila tersebut? Mungkin
Presiden atau para pejabat negara juga tidak paham benar apa makna kata-kata
“adil” dan “beradab”, sebab faktanya, banyak pejabat yang perilaku dan
kebijakannya tidak adil dan tidak beradab. Lihatlah, banyak pejabat menggunakan
mobil dan sarana mewah dengan uang rakyat, padahal begitu banyak rakyat yang
kelaparan, kurang gizi, tidak bisa berobat dan kesulitan biaya
pendidikan.
Di tengah jeritan banyak orang
yang kesulitan biaya pendidikan sekolah anak-anaknya, muncul kebijakan membuat
patung-patung di berbagai tempat. Tentu dengan uang rakyat. Saya pernah SMS
seorang menteri dari sebuah partai Islam karena meresmikan sebuah patung
bernilai Rp 2 milyar. Ia menjawab, bahwa patung itu dibiayai oleh pengusaha,
bukan dari anggaran negara. Meskipun begitu, menurut saya, tidak sepatutnya sang
menteri meresmikan patung tersebut. Kita semakin sering mendengar pejabat
berteriak, mari rakyat hemat BBM (Bahan Bakar Minyak), karena subsidi BBM sudah
terlalu berat. Tapi, tengoklah, apakah mobil pejabat tersebut hemat BBM?
Mobilnya impor; biaya operasionalnya bisanya ditanggung oleh uang rakyat, dan
itu jelas boros. Kenapa Presiden dan para pejabat tidak menggunakan mobil yang
sederhana dan hemat BBM? Tentu tidak menjadi soal jika mobil itu dibeli dengan
uangnya sendiri dan BBM-nya juga beli sendiri, tidak menggunakan uang
rakyat.
Mari kita lihat contoh lagi! Ini
terjadi bukan hanya di kalangan pejabat, bahkan di kalangan ulama dan tokoh
agama. Begitu sering kita mendengar seruan untuk menjadi orang taqwa. Kata
”taqwa” begitu mudah diucapkan; lancar didengarkan; pejabat bicara taqwa, ulama
berkhutbah meyerukan taqwa. Ayat al-Quran juga sering dilantunkan: Yang paling
mulia di antara kamu adalah orang yang taqwa (Inna akramakum ’inda-Allaahi
atqaakum).
Bicara dan ngomong taqwa
memang mudah. Tapi, apa benar-benar seruan taqwa itu dijalankan, bahkan oleh
para ulama dan tokoh agama? Alllah menyebutkan, bahwa yang paling mulia adalah
yang paling taqwa, bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling cantik
wajahnya, bukan yang paling populer, dan juga bukan yang paling tinggi
jabatannya. Pesan al-Quran jelas: hormatilah yang paling taqwa! Tapi, lihatlah
contoh-contoh dalam kehidupan nyata. Lihatlah, saat para tokoh agama menggelar
hajatan perkawinan buat anak-nya. Apakah orang taqwa yang didahulukan untuk
bersalaman atau pejabat tinggi yang dihormati dan didahulukan. Kadangkala,
banyak orang-orang ”kecil” yang sudah mengantri selama berpuluh-puluh menit,
bahkan berjam-jam, kemudian harus dihentikan, karena ada pejabat atau mantan
pejabat datang; ada orang terkenal datang.
Apakah perilaku seperti itu adil
dan beradab? Suatu ketika kepada pimpinan sautu partai Islam saya usulkan, agar
jangan banyak-banyak membuat bendera dan spanduk kampanye, karena begitu banyak
jalan di sekitar kediaman calon-calon legislatif partai itu yang rusak dan
berlobang. Lucunya, sang calon bukan membeli semen atau aspal untuk m
memperpaiki jalan, tetapi malah mencetak poster dan profil dirinya lalu
dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitarnya. Seorang Ustad di Depok bercerita
kepada saya, ia juga pernah menasehati seorang calon anggota legislatif yang
datang kepada dirinya, meminta dukungan. Ustad itu menasehati sang calon,
gunakan uang kampanye anda untuk membantu pedagang-pedagang muslim di
pasar-pasar rakyat yang kini terjepit rentenir. Ini nasehat yang sangat baik,
agar seorang aktivis politik Muslim bersikap adil dan
beradab.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan
makna ”adil” dan ”beradab” dalam sila kedua Pancasila?
Seperti diketahui, rumusan sila
kedua itu merupakan bagian dari Piagam Jakarta yang dilahirkan oleh Panitia
Sembilan BPUPK, tahun 1945, dan kemudian disahkan dan diterima oleh bangsa
Indonesia, sampai hari ini. Sila kedua ini juga lolos dari sorotan berbagai
pihak yang keberatan terhadap sebagian isi Piagam Jakarta, terutama rumusan sila
pertama yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Jika dicermati dalam sudut
”pandangan-alam Islam” (Islamic worldview), lolosnya sila kedua sebagai
bagian dari Pancasila, itu cukup menarik. Itu menunjukkan, pengaruh besar dari
konsep Islam terhadap rumusan sila kedua tersebut. Perlu dicatat, rumusan sila
kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan oleh Bung Karno pada 1
Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima sila”
untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme
atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5)
Ketuhanan.
Jadi, berdasarkan sila kedua
Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan yang seharusnya
dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan
kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam
manakah yang bisa menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat? Jawabnya,
tentu ”Pandangan-alam Islam”. Sebab, kedua istilah dan konsep itu memang istilah
yang khas Islam. Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata yang tepat
untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di wilayah
Nusantara? Apakah bahasa Jawanya ”adil”? Apakah bahasa Sundanya
”adab”?
Bisa disimpulkan, kedua istilah
dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang hanya ditemukan dalam
konsep Islam, dan karena itu harus dicarikan maknanya dalam Islam. Minimal,
tidaklah salah, jika orang Muslim di Indonesia menafsirkan kedua istilah itu
secara Islami. Rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan, bahwa Pancasila
sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau konsep netral agama, sebagaimana
sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade
ini.
Masuknya kata ”adil” dan ”adab”
dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi yang lebih jelas tentang
cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila. Itu juga
ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang maknanya sangat
khas Islam, seperti kata “hikmah” dan “musyawarah”. Karena dua kata –
adil dan adab -- ini jelas berasal dari kosakata Islam, yang
memiliki makna khusus (istilaahan), maka hanya bisa dipahami dengan tepat
jika dirunut pada pandangan-alam Islam.
Kata ”adil” adalah istilah “khas”
yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran
disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil
dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang
keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian
ingat.” (QS 16:90).
Prof. Hamka, dalam Tafsir
Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang
sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak
kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah
zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri
sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah
kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam
masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman
sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulis
Hamka.
Jadi, adil bukanlah sama
rata-sama rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang oleh orang Islam,
seharusnya dipahami dari perspektif pandangan-alam Islam, karena konsep ini
terikat dengan konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam
kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan berubah
maknanya. Sejumlah aktivis ”Kesetaraan Gender” atau feminis liberal, yang
berpedoman pada konsep “setara” menurut pandangan-alam Barat, misalnya, mulai
menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan.
Dipertanyakan, misalnya, mengapa
aqiqah untuk bayi laki-laki, misalnya, adalah dua kambing dan aqiqah untuk bayi
perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu dinilai tidak adil dan diskriminatif.
Dalam Islam, laki-laki berhak menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan
adalah adil. Menurut konsep yang lain, bisa dikatakan tidak adil. Dalam
pandangan demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat”
dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi
hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil jika Presiden – yang tidak ada
hubungan keluarga apa pun – berhak memberikan grasi kepada seorang
terhukum.
Tetapi, dalam Islam, yang lebih
adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada keluar korban kejahatan.
Jadi, kata adil, memang sangat beragam maknanya, tergantung pandangan-alam apa
yang digunakan. Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM, menilai aturan Islam tidak
adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Juga
dengan dasar yang sama, mereka menuntut keadilan, agar kaum homoseksual dan
lesbian juga diberikan hak yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka,
sebagaimana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka menuntut hak
untuk pengesahan perkawinan manusia dengan binatang, dengan alasan, tidak
mengganggu orang lain. Ada juga tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk
hidup. Dan sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua –
Kemanusiaan yang adil dan beradab – dilepaskan maknanya dari sudut
pandangan-alam Islam, maka akan terlepas pula maknanya yang
hakiki.
Bagi kaum Muslim, khususnya,
cendekiawan Muslim Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan perlunya
memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam
dengan benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan
dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut
Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur
dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Ia
menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of
language).
Contoh kasus penafi-islaman
bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada
menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau
sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah
adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan,
yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat, Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti
Sains Malaysia, 2007), hal. 60).
Disamping istilah ”adil”, istilah
adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah
banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Istilah adab bisa
ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi saw. Misalnya, Anas r.a. meriwayatkan,
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Akrimuu auladakum, wa-ahsinuu
adabahum.” Artinya, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka. (HR Ibn Majah). Sejumlah ulama menulis kitab terkait dengan adab,
seperti al-Mawardi (w. 450 H), menulis Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad
bin Sahnun at-Tanwukhi (w. 256 H) menulis Adab al-Mu’allimin wa
al-Muta’allimin, juga al-Khatib al-Baghdadi ( w. 463 H) menulis al-Jami’
li-Akhlaq al-Rawi wa Adab as-Sami’.
Di Indonesia, K.H. M. Hasyim
Asy’ari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul Adabul ‘Aalim
wal-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Titian Wacana, 2007). Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini
membahas secara panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka
kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa
waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.”
(Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik,
pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Dikutip juga perkataan sejumlah
ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “In kaana al-rajulu
la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina.” (Hendaknya
seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun). Habib bin as-Syahid
suatu ketika menasehati putranya: “Ishhabil fuqahaa-a wa ta’allam minhum
adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal hadiitsi.”
(Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka.
Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak hadits.”
Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Yaa bunayya ij’al ‘ilmaka milhan wa
adabaka daqiiqan.” (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan
adabmu sebagai tepung). Ibn al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal
adabi ahwaja minnaa ilaa katsiirin mina ’ilmi.” (Mempunyai adab meskipun
sedikit lebih kami butuhkan daripada banyak ilmu
pengetahuan).
Suatu ketika Imam Syafii pernah
ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? Beliau
menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski
hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya)
seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah
perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau
ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau
menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari
anak satu-satunya yang hilang.”
Menyimak paparan pendiri NU
tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan istilah
yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam.
Adab bukan sekedar ”sopan santun”. Maka, tentunya sangat masuk akal jika orang
Islam memahami kata adab dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh
sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang
sangat khas dalam Islam. Jika adab hanya dimaknai sebagai ”sopan-santun”, maka
bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak
beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu
dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi,
jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu
’anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah
ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak
sopan. Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika
masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat
ke permukaan.
Karena itulah, menurut Islam
harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan
pada manusia. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah
orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS
49:13). Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus
menghormati seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya. Bukan karena jabatannya,
kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab,
menurut al-Quran.
Begitu juga ketika al-Quran
memuliakan orang yang berilmu (QS 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab,
seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas
keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas
keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan,
sementara aktivitas hiburan diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan
maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari
tradisinya.
Bangsa Indonesia tidak mungkin
akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu ini. Jika budaya santai,
budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi
saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang
disegani dunia. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang menjadikan
aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang Muslim
senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku).
Lebih dari itu, Rasulullah saw juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan
dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmulah, maka
manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya,
sesuai ketentuan Allah swt. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami oleh kaum
Muslim.
Lebih jauh, Prof. Naquib
menjelaskan, bahwa jatuh-bangunnya umat Islam, tergangtung sejauh mana mereka
dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Lebih
jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini menjelaskan, bahwa, ”... adab
itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau
dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan
atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada
kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” (Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC,
2001)).
Jadi, dalam Islam, konsep adab
memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang
dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang
ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai
satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam
al-Quran, syirik dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman
kepada anaknya: ”Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah,
sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13). Nabi
Muhammad saw berhasil membangun peradaban Islam di Madinah, yakni suatu
masyarakat yang menegakkan adab dalam kehidupan mereka. Masyarakat beradab –
menurut Islam -- adalah masyarakat yang memuliakan orang yang beriman, berilmu,
orang yang shalih, dan orang yang taqwa; bukan orang yang kuasa, banyak harta,
keturunan raja, berparas rupawan, dan banyak anak buah. Peradaban yang dibangun
Nabi Muhammad saw di Madinah adalah sebuah contoh ideal. Masyarakat Madinah
adalah masyarakat yang haus ilmu, cinta ibadah, dan cinta pengorbanan. Kondisi
itu sangat jauh berbeda denngan kondisi masyarakat Jahiliah, yang merupakan
masyarakat yang tidak beradab, alias masyarakat biadab.
Pemahaman dan pengakuan tentang
adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang
komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang
digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja,
belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli
dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas
bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berzina.
Karakter yang baik, menurut John
Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat
adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada
kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan,
keberanian, dan usaha keras) (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi,
Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI,
2007).
Karakter memang laksana “otot”
yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses
pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik
mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan,
maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka
mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran
dalam pendidikan.
Dalam kaitan inilah kita melihat
banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan
nasional, yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil
menjawab soal. Anak dihargai tinggi jika mampu menjawab soal-soal ujian. Mata
pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata. Bahkan, sampai pelajaran
agama juga diajarkan dalam bentuk kewajiban menghafal dan menjejalkan informasi
sebanyak mungkin kepada para siswa.
Lihatlah dampak dari cara
pengajaran agama yang salah! Banyak anak belajar agama dari tingkat ibtidaiyah
sampai aliyah bahkan sampai perguruan tinggi, tetapi kemudian pelajaran agamanya
itu seperti tidak berbekas kepada pemikiran dan perilakunya. Bahkan ada yang
setelah tingkat tertentu merasa jenuh dan bosan, seperti mau muntah, sehingga
tidak tertarik lagi untuk belajar agama. Akibatnya, saat mau masuk jenjang
pendidikan tinggi, dia enggan belajar agama lagi, enggan masuk jurusan agama,
karena – selain dianggap tidak prospektif untuk mencari kerja – juga dianggap
membosankan.
Para pendidik, guru, orang tua,
ulama, dan dosen, wajib memikirkan masalah pendidikan Islam ini dengan serius.
Inilah kunci kebangkitan Islam. Jika pendidikan rusak, maka rusak pula semua
sektor kehidupan lainnya. Sebab, di dalam dunia pendidikan inilah seharusnya
ditanamkan nilai-nilai kecintaan kepada ilmu, kecintaan kepada ibadah, dan
kecintaan kepada pengorbanan.
DIPETIK DRP BUKU: PENDIDIKAN ISLAM MEMBENTUK MANUSIA BERKAREKTER DAN BERADAB OLEH DR ADIAN HUSAINI