Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak saudara Rasulullah kerana masih terhitung keturunan saudara-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapa beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berada. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, datuk dari datuk beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (junior) Nabi. As-Saib, bapa Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fizik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbezaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeza. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan bercampur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman kerana si ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena si ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, si ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia katakan, dia berkata kepadaku,“Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah faqih menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majlis-majlis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasihat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahawa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, bermula dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum mahupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi terkenal kerana sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan kisah kehebatannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeza dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeza dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahawa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majlis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Iraq itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Iraq untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad kerana para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar kerana sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahawa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Iraq selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Iraq. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana kerana telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu kerana orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai sumber utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Kerana itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Kerana perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahawa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Kerana kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit buwasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat kerananya. Beliau wafat pada malam Jumaat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bahagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
SIFAT FIZIKAL KITAB SAHIH MUSLIM
1. JUDUL KITAB : SAHIH MUSLIM
2. NAMA PENGARANG : Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj
Al-Qusairyy an-Naiaburi.
3. TERBITAN : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Beirut- Lebanon
4. TAHUN CETAKAN : 1421 H – 2000 Masehi
5. BIL JILID : 1 jilid sahaja
6. WARNA KULIT BUKU : Merah
7. WARNA TULISAN BUKU : Emas
8. KETEBALAN KITAB : 5 cm
9. KEPANJANGAN KITAB : 25 cm
10. KELEBARAN KITAB : 17.3 cm
11. HALAMAN MUKA SURAT :1200 tidak termasuk kulit
SEJARAH PEMBUKUAN KITAB SAHIH MUSLIM
Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih selepas Kitab al-Quran. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam. Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para periwayat hadis, menyaring hadis-hadis yang diriwayatkan, membandingkan riwayat riwayat itu antara satu sama lain. Imam Muslim sangat teliti dan begitu berhati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz dan selalu memberikan isyarat jika terdapat sebarang perbezaan antara lafaz-lafaz tersebut.
Usaha yang sedemikian rupa telah menghasilkan sebuah kitab bermutu tinggi dan menjadi rujukan utama oleh umat Islam hingga dekad ini. Bukti kukuh mengenai kehebatan kitab karyanya ini merupakan suatu kenyataan yang dilakukan sendiri oleh Imam Muslim yang telah menyaring segala isi kandungan kitabnya dari ribuan riwayat hadis yang pernah didengarinya dari ratusan ulama sezaman dengannya. Di dalam hal ini, pernah diceritakan yang ia menyebutkan: “Aku menyusun kitab Sahih ini yang telah disaring dari 300,000 buah hadis.” Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, dia berkata: “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadis.”
Setelah menyusun kitab sahih itu, Imam Muslim -rahimahullah- memperlihatkannya kepada para ulama hadis untuk diperiksa. Al-Khatib meriwayatkan dari Makki bin Abdan, salah seorang hafiz dari Naisabur, ia berkata: "Saya mendengar Muslim berkata: "Aku memperlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur'ah ar-Razi. Semua hadis yang ditunjukkan ar-Razi ada kelemahannya, aku tinggalkan. Dan semua yang dikatakan sahih, itulah yang kutulis." Itulah sikap rendah hati Imam Muslim yang tidak terbujuk oleh hawa nafsu dan bangga atas pendapatnya sendiri.
LATAR BELAKANG IMAM MUSLIM
BIODATA
Nama Sebenar :Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj Ibn Muslim Ibn al-Warid Ibn Kusyaz al-Qusyairi al-Naisaburi, atau Sering dikenali sebagai Imam Muslim.
Tarikh kelahiran : Bulan Rejab tahun 204 Hijrah bersamaan 820 Masehi
Tempat Kelahiran : Naisaburi
Keturunan : Beliau berasal daripada keturunan yang mulia dan terhormat. Beliau terdidik dalam suasana dan keluarga berilmu.
Sifat Keperibadian :Imam Muslim seorang yang kuat beribadat, bertaqwa, sangat menghormati gurunya, warak, berani dan Tawaduk.
PENDIDIKAN
Imam Muslim mempunyai kepintaran yang luar biasa dan kecerdasan ingatan serta kefahaman yang tajam. Beliau merupakan orang yang gemar dan sangat kepada ilmu pengetahuan serta suka berbincang dengan ulama. Imam Muslim telah mempelajari al-Quran , Kesusasteraan Arab serta Tatabahasa Arab. Ketika usia 10 tahun beliau telah menghafaz al-Quran seutuhnya serta ribuan hadis berikut sanadnya.
Beliau belajar dan mendalami ilmu hadith ketika berusia 15 tahun. Untuk itu, beliau telah melakukan pengembaraan di merata tempat seperti Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara negara lainnya untuk mengumpul dan mempelajari hadith dengan lebih mendalam lagi. Dalam pengembaraanya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadith daripada mereka. Contohnya Di Khurasan, Imam Muslim berguru dengan Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih, di Ray berguru dengan Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Manakala Di Iraq pula beliau belajar hadith dengan Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar dengan Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru dengan 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.
Imam Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar dengan ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. Semasa Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim selalu datang kepadanya untuk berguru, ini kerana beliau mengetahui jasa dan ilmunya. Ketika terjadinya fitnah atau ketegangan antara Bukhari dan Az-Zihli, Imam Muslim berpihak kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Imam Muslim dalam Sahihnya mahupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa beliau lakukan terhadap Imam Bukhari iaitu tidak meriwayatkan hadith dalam Sahihnya, yang diterima daripada Bukhari, padahal Imam Bukhari adalah gurunya. Walaupun Imam Muslim tidak memasukkan Hadith yang diriwayatkan daripada mereka berdua, Imam Muslim sentiasa menghormati ilmu mereka.
GURU-GURU IMAM MUSLIM
Antara ulama-ulama yang telah mengajar ilmu hadith kepada Imam Muslim ialah:
• Abdullah bin Masallamah ,
• Imam ahmad bin Hanbal
• Ishak bin Rahawiyah,
• Ibn Abu Syaibah,
• Yahya bin Mu’in
• Ishak bin Mansur
• Abu Bakar bin Abi Syaibah
• Abdullah bin Abd. Rahman
• Muhammad bin Abdullah bin Namir
MURID-MURID IMAM MUSLIM
Ketokohan imam Muslim dalam bidang hadith dikenali oleh orang ramai dan para ulama’ ketika itu, kehebatan beliau dalam bidang hadith ini menyebabkan ramai dikalangan umat islam dan ulama’ belajar dengan beliau antara murid beliau ialah:
• Muhammad bin Abdul Wahab al-firai
• Abu Hatim Muhammad bin Idris al- Razi
• Abu Bakar Muhammad bin al- Nadir bin Salmah al- Jarudi
• Ali bin Husain bin Janid al-Razi
• Saleh bin Muhammad Juzrah
• Abu I’sa al- Tarmizi Sohibu Jami’
• Ibrahim bin Abi Talib
• Ahmad bin Salmah al-Naisaiburi
• Abu Bakar bin Khazimah
• Mkhi bin Abdan
• Abdul Rahman bin Abi Hatim Al-Razi
• Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Syarqi
KEAHLIAN DALAM BIDANG HADITH
Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith sahih, berpengetahuan luas mengenai dalam selok belok hadith, serta ketajaman kritikannya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadit maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengikut. Sebab, beliau mempunyai ciri khas dan kriteria tersendiri dalam menyusun kitab, serta metod penulisan baru yang belum pernah diperkenalkan orangsebelumnya.
KARYA-KARYA IMAM MUSLIM
Selain karyanya yang terkenal iaitu Sahih Muslim, Imam Muslim telah mengarang berbagai-bagai kitab serta penulisan-penulisan yang lain yang telah tersebar dikalangan orang-orang seperti tersebarnya angin di tempat yang terbuka, tanpa apa-apa halangan, supaya ia sampai ke hati serta akal para pembacanya. Isi kitab-kitab itu telah bercampur gaul dalam jiwa mereka seperti tercampurnya air dalam segala yang hidup.
Antara hasil karya imam Muslim :
1. Al-Musnad al-Kabir
2. Al-Asma’ Wal Kunni
3. At-Tamnyiz
4. Al-Ifrad
5. Sualat Ahmad Ibnu Hanbal
6. Lain-lain lagi
KEWAFATAN IMAM MUSLIM
Imam Muslim Meninggal dunia di Kota Nasr Abad, Nisabur pada hari Ahad malam Isnin, 25 Rejab tahun 261H bersamaan 875M dalam usia 57 tahun.
3.8 SEBAB KEMATIAN IMAM MUSLIM
Telah disebut sebab kematian Imam Muslim: Suatu hari Imam Muslim mengadiri majlis muzakarah bersama para ilmuan yang terutamanya membahaskan ilmu hadith. Salah seorang di antara peserta muzakarah bertanya satu hadith kepada Imam Muslim, tetapi beliau tidak mengetahui akan hadith tersebut. Beliau balik dengan tekad untuk memcari catatan hadith tersebut.
Sesampainya di rumah, beliau terus masuk ke dalam biliknya dan menyalakan lampu.
”Sesiapa pun tidak boleh masuk menjumpaiku pada malam ini.” kata Imam Muslim kepada keluarganya.Pada siang harinya, seseorang telah menghadiahkan sebakul kurma kepada beliau. Maka kurma itu pun di bawa masuk ke dalam biliknya. Beliau menyemak catatan-catatan hadithnya. Apabila selesai membaca satu hadis, beliau mencapai sebiji kurma lalu dimakannya. Kemudian membaca satu hadis lagi, lalu mencapai sebiji kurma dan memakannya setelah satu hadis yang dibacanya selesai. Demikianlah seterusnya sehingga pagi dan tanpa disedarinya dan satu bakul kurma telah habis dimakannya. Akibatnya, beliau sakit perut yang membawa kepada ajalnya.
Semoga Allah mencucuri rahmat ke atas roh beliau, sesuai dengan segala jihadnya, manfaat yang dia telah menghulurkannya serta jihad dan kesabarannya, bagi membuahkan ilmu yang dia telah tinggalkan.
ISI KANDUNGAN KITAB
1. Kitab ini dimulakan dengan terjemahan imam Muslim, terjemahan ini telah dilakukan oleh Imam Nawawi dalam Kitab ( tazhib al- asma wal lughat ), Imam Nawawi memperkenalkan sedikit sebanyak tentang biodata Imam Muslim samaada dari segi latar belakang kehidupannya dan pendidikannya
2. Kitab ini seperti dengan kitab lain juga terdapat Mukaddimah yang ditulis dengan warna merah manakala intipatinya warna hitam. Dalam mukaddimah dimuatkan beberapa bab yang berkaitan dengan larangan meriwayatkan hadith dari perawi yang lemah, wajib riwayat dari perawi yang siqah dan mengemukakan hadith yang berkaitan dengan hukuman yang akan dikenakan kepada mereka yang melakukan pendustaan ke atas Rasulullah s.a.w.
3. Seterusnya masuk kepada tajuk pertama yang dikenali dengan kitab hingga kitab akhir di mana setiap kitab itu pecahkan kepada tajuk-tajuk kecil yang dipanggil bab.
4. Dimulakan dengan kitab Iman hingga kitab Tafsir, setiap kitab akan didahului dengan Basmalah
KANDUNGAN KITAB
BIL KITAB BIL. BAB BIL. HADIS
1. كتاب الايمان 96 380
2. كتاب الطهاره 34 40
3. كتاب الحيض 33 126
4. كتاب الصلاة 52 285
5. كتاب المسجد ومواضع 55 316
6. كتاب الصلاة المسافرين وقصرها 57 312
7. كتاب الجمعة 18 73
8. كتاب العيدين 4 22
9. كتاب صلاة الاستسقاء 4 17
10. كتاب صلاة الكسوف 5 29
11. كتاب الجنائز 37 107
12. كتاب الزكاة 55 177
13. كتاب الصيام 40 222
14. كتاب الاعتكاف 4 10
15. كتاب الحج 97 522
16. كتاب النكاح 24 143
16. كتاب الرضاع 19 65
18. كتاب الطلاق 9 67
19. كتاب اللعان - 20
20. كتاب العتق 6 25
21. كتاب البيوع 21 123
22. كتاب المساقاة 31 143
23. كتاب الفرائض 4 17
24. كتاب الهبات 4 32
25. كتاب الوصية 5 22
26. كتاب النذر 5 13
27. كتاب الأيمان 13 59
28. كتاب القسامة والمحاربين والقصاص والديات 11 39
29. كتاب الحدود 11 46
30. كتاب الأقضيه 11 21
31. كتاب اللقطه 5 19
32. كتاب الجهاد 51 150
33. كتاب الإماره 56 185
34. كتاب الصيد والذباح وما يؤكل من الحيوان 12 60
35. كتاب الأضاحي 8 45
36. كتاب الأشربه 35 188
37. كتاب اللباس والزينة 35 127
38. كتاب الآداب 10 45
39. كتاب السلام 41 155
40. كتاب الألفاظ من الآدب وغيرها 5 21
41. كتاب الشغر 1 10
42. كتاب الرؤيا 4 23
43. كتاب الفضائل 46 174
44. كتاب فضائل الصحبه رضي الله تعالى عنهم 60 232
45. كتاب البر والصلة والأداب 51 166
46. كتاب القدر 8 34
47. كتاب العلم 6 16
48. كتاب الذكر والدعاء والتوبة والاستغفار 27 99
49. كتاب الرقاق 11 59
50. كتاب التوبة 19 83
51. كتاب صفات المنا فقين واحكامهم 19 84
52. كتاب الجنة وصفة نعيمها وأهلها 28 143
53. كتاب الزهد والرقائق 19 75
54. كتاب التفسير 7 34
JUMLAH KESELURUHAN 1327 5700
METODOLOGI PENULISAN
Berdasarkan pemerhatian saya, kitab Hadith Sahih Muslim karangan Imam Muslim yang telah ditahqiqkan oleh Imam Nawawi menggunakan pelbagai disiplin ilmu metodologi Hadith. Di sini saya ingin lampirkan dua metodologi iaitu:
Metodologi secara umum berkaitan dengan kitab ini
Metodologi penulisan yang khusus yang telah digunakan oleh Imam Muslim dalam penulisan hadithnya.
1. Metodologi Umum
Tulisan :
• Menggunakan tulisan dalam bentuk Khat Nasakh
• Tajuk atau kitab dan bab ditulis dengan warna merah
• Manakala sanad, matan dan ayat al-Quran ditulis dengan warna hitam
• Tulisan hadis ditulis dengan size yang kecil
• Meletakkan baris pada semua kalimah, hadith-hadith serta ayat-ayat al-Quran
Penyusunan Kitab:
1. Kitab ini di mulakan dengan terjemahan Imam Muslim yang dikarang oleh Imam Nawawi, dalam terjemahan ini memuatkan serba sedikit tentang biodata Imam Muslim samaada dari segi kehidupan dan pendidikan.
2. Kemudian mengulas mengenai Kitab Sahih Muslim secara ringkas dan menguraikan sedikit metodologinya.
3. Disertai juga dengan Mukaddimah, yang didahului dengan basmalah
4. Seterusnya masuk pada kitab pertama hingga kitab terakhir iaitu dimulai dengan kitab Iman berakhir dengan kitab Tafsir
5. Tajuk utama diletakkan pada setiap helaian muka surat yang baru dan ditebalkan dengan tulisan warna merah.
6. Setiap hadith dilengkapi dengan sambungan sanad, matan yang sahih, dan pada penghujung hadis diletakkan ayat-ayat al-Quran bagi menguatkan hadith tersebut.
7. Berdasarkan pada metodologi yang digunakan dalam kitab Sahih Muslim ini, beliau menyebut kalimah Haddasani dan Haddasana sebelum dinyatakan sanad dan matan hadith tersebut.
8. Meletakkan bilangan hadith pada setiap tajuk dan disertakan juga nombor hadith yang tidak berulang bertujuan memudahkan para pengkaji dan pembaca membuat rujukan pada kitab syarah Sahih Muslim dan dapat mengetahui bilangan hadith yang terdapat pada setiap tajuk dengan mudahnya.
Gaya bahasa:
Bahasa yang sederhana, boleh difahami dan diterjemahkan sesuai dengan proses pembelajaran.memuatkan hadith-hadith yang mudah diingati dan fahami .
2. Metodologi Khusus
• Sahih Muslim adalah hasil kajian dan pengumpulan hadis yang dibuat oleh Imam Muslim daripada jumlah asalnya sebanyak 30,000 buah hadith yang dikumpul selama 15 tahun
• Imam Muslim menetapkan syarat dan menggunakan metodologi tertentu dalam mengumpul dan menulis hadis dalam Kitab Sahihnya, iaitu :
1. Tidak meriwayatkan hadis kecuali dari perawi yang adil, kuat hafalannya, jujur, amanah, tidak pelupa. la juga meriwayatkan dari perawi yang memiliki sifat-sifat lebih rendah dari sifat tersebut di atas.
2. Hadith yang diriwayatkan mesti bersambung sanad dari awal hingga akhir.
3. Hadith itu mestilah disandarkan kepada Rasulullah s.a.w
BILANGAN HADITH DALAM KITAB MUSLIM
• Bilangan hadis tidak berulang yang dimuatkan oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim adalah 4,000 .Manakala Jumlah kesemua hadith yang disebut secara berulang adalah sebanyak 12,000 hadith.
Imam Muslim pernah berkata : saya susunkan Musnad al-Sahih ini dari 300 ribu hadith yang didengari.
• Pendapat Ulama’ lain mengenai bilangan hadith dalam sahih Muslim antaranya :
• Hafiz al-‘Iraqi berkata ; dengan mengambil kira hadith-hadith yang berulang, jumlah hadithnya lebih banyak dari yang terdapat dalam kitab Bukhari kerana turuq yang pelbagai. Katanya bilangannya 12 ribu hadith dan 4000 hadith tanpa mengira hadith berulang.
• Winsink : pernah menyenaraikan di awal bukunya Miftah kunuz al-Sunnah hadith-hadith utama dari setiap tajuk utama yang terdapat dalam Sahih Muslim telah menyebut yang jumlah hadithnya adalah 5781 hadith.
KEDUDUKAN DAN KEISTIMEWAAN SAHIH MUSLIM
Kedudukan ;
1. Sahih Muslim adalah salah satu daripada kedua kitab yang masyur dikalangan umat islam selepas kitab suci Allah s.w.t dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Kitab ini mengandungi hadith-hadith sahih sahaja
2. Kitab Sahih Muslim dikumpulkan di dalam 54 tajuk yang dikenali dengan kitab yang merangkumi bidang :
a) Muamalat
b) Jihad
c) Zikir
d) Fada’il al-Amal
e) Ibadah
Keistimewaan Sahih Muslim;
1. Tidak ada sebarang penambahan atau kritikan dan pengurangan terhadap kitab sahih itu pada zaman beliau dan juga selepas kematiannya sehingga sekarang
2. Jumhur ulama bersetuju dan bersepakat mengiktiraf kedudukan kitab Sahih Muslim
Sebagai kitab Kedua selapas Sahih Bukhari.
3. Sahih Muslim juga dianggap istimewa kerana mempunyai ciri-ciri berikut:
a) Metodologinya berbeza dengan metodologi Imam Bukhari, di mana beliau mengumpulkan matan-matan yang berbeza di dalam satu riwayat disatu tempat tanpa dipecahkan kepada beberapa bab.
b) Tidak banyak hadith-hadith yang berulang dan akan cuba mengelakkannya jika boleh.
c) Penjelasannya tidak terputus-putus , tetapi mengikut langkah-langkah teratur di dalam judul-judul yangt tertentu.
KITAB – KITAB SYARAH MUSLIM
1. SAHIH MUSLIM BI SYARH AL-NAWAWI
- (Al-Imam Muhyiddin Abi Zakaria Ibn Syaraf al-Nawawi )
-Tahun cetakan : 1990 Masehi
- Bilangan Jilid : 18 jilid
• Metodologi Kitab
Kitab ini bermula dengan basmalah kemudian hadith berserta syarahannya
Pada setiap juzuk pengarang meletakkan isi kandungan
Kitab ini juga mempunyai satu buku khusus bagi indeks
Indeks ini meliputi : tajuk, kitab dan bab, hadith-hadith qawliyyah mengikut abjad, nama-nama perawi daripada kalangan sahabat dan penerangan hadith-hadith setiap daripada mereka.
Terdapat juga indeks-indeks khusus seperi ayat al-Quran dan sebagainya
2. FATH MUN’IN SYARAH SAHIH MUSLIM
- Profpesor Dr. Musa Syahin Lasyin
-Tahun Cetakan : 2002 M bersamaan 1423H
-Juzuk : 10 juzuk
• Metodologi kitab
Pada permulaan buku ini dimulai dengan muqaddimah
Berikutnya kitab ini menyenaraikan kandungan bagi kitab
Kemudian dimulakan dengan bab hadith syarahnya yang disebut dengan makna umum, perbahasan arab dan kefahaman hadith.
3.IKMAL-IKMAL AL-MUALLIM SYARAH SAHIH MUSLIM
- al-Imam Muhammad bin Khalifah al-Wasytani
- Tahun Cetakan : 1994 M bersamaan 1415H
- Bil Juzuk :9 Juzuk
4. AL- SIRAJ AL-WAHHAJ FI KASYH MATALIB IBN AL-HAJJAJ
- Abi al-Tayyib Muhammad Siddiq khan bin Hasan bin Ali
- Tahun cetakan : 2004 M
5. AL-MUFHIM LIMA ASYKALA MIN TALKHIS KITAB MUSLIM
- Al-Imam al-Hafiz Abi Abbas Ahmad bin Imran bin Ibrahim al-Qurtubi
- Tahun cetak : 1996 M bersamaan 1417 H
8. PENUTUP
Secara kesimpulannya, Kitab Sahih Muslim adalah salah sebuah dari dua kitab yang sahih selepas al-Quran dan as-Sunnah yang mengandungi hadith-hadith yang sanadnya bersambung dan disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Di samping itu juga, kitab ini mengandungi intipati yang berkaitan dengan kehidupan social umat Islam. Oleh itu, amatlah sesuai dijadikan panduan dan rujukan dalam kehidupan seharian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Jadi secara keseluruhannya, kitab Sahih Imam Muslim amatlah sesuai dijadikan rujukan bagi mereka yang ingin mengenali, mengetahui serta mempelajari hadith-hadith yang sahih. Semoga dengan terhasilnya kertas kerja ini dapat memberi manfaat kepada kita untuk mengkaji hadith dan mempelajarinya dengan lebih mendalam.
9. RUJUKAN
Al-Imam Abi Hussain Muslim bin Hajjaj Qusyairy. 2001. Sahih Muslim.
Beirut Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah
CD Hadith. Mausuah al-Hadith as-Syarif al-Kutub at-Tis’ah.
Anisah Zainal Abidin. 2006. Pemikiran Islam Semasa. Bangi: Jabatan Usuluddin dan
Falsafah
Rusli Abdul Roni. 2003. Tesis Pemikiran Syeikh Muhammad al-Ghazali al-Saqa
(1917-1996) dalam Beberapa Permasalahan Fiqh Islam. Bangi: Fakulti Pengajian
Islam UKM
http://ms.wikipedia.org/wiki/Imam_Muslim 18/7/2009
http://www.scribd.com/doc/3272315/BIODATA-IMAM-MUSLIM-alahkam-net-Si- http://www.scribd.com/doc/8009413/Kenali-TokohTokoh-Hadith:19/7/2009
http://mohdfikri.com/blog/20/7/2009
LATAR BELAKANG RINGKAS KITAB
Nama asal Sunan Ibnu Majah ialah al-Sunan. Nama ini telah digunakan sendiri oleh Ibnu Majah tetapi memandangkan al-Sunan itu terlalu umum kerana terdapat juga kitab-kitab hadith lain yang dinamakan dengan al-Sunan. Maka dengan itu, dihubungkan nama kitb kepada penyusunnya dan dinamakan Sunan Ibnu Majah.
Mempunyai 4 jilid.
Kitab ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar sampai sekarang. Beliau menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab.
Kitab sunan ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam bab ini dia membahas hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.
Kitabnya berwarna Merah, Hitam dan Emas
Antara jenis tulisan yang digunakan dalam kitab ini ialah Khat Nasakh, Khat Thulus, Khat Riqaah dan lain-lain.
KEDUDUKAN SUNAN IBNU MAJAH
Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadits yang pokok ada lima, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi.
Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab ini lebih rendah dari lima kitab tersebut.
Tetapi sebagian ulama menetapkan enam kitab hadits pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah sehingga terkenal dengan sebutan Kutubus Sittah (enam kitab hadits).
Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafizh Abdul Fadli Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat tahun 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul A’immatis Sittah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh al-Hafizh Abdul Ghani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat tahun 600 H) dalam kitabnya al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Pendapat mereka inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama.
Mereka memasukkan Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al-Muwatta’ Imam Malik. Padahal kitab ini lebih shahih daripada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di dalam Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadits yang tidak tercantum dalam Kutubul Khamsah (lima kitab hadits), sedangkan hadits yang terdapat di dalam al-Muwatta’ seluruhnya sudah termaktub dalam Kutubul Khamsah.
Diantara para ulama ada yang menjadikan al-Muwatta’ ini sebagai kelompok Usulus Sittah (enam kitab hadits pokok), bukan Sunan Ibnu Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqasti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya ad-Tajrid fil Jami’Bainas Sihah. Pendapat Razin ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnu Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H). Az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat tahun 944 H) dalam Taysirul Wusul juga punya pendapat demikian. Sebenarnya derajat al-Muwatta’ lebih tinggi dari Sunan Ibnu Majah.
BIOGRAFI PENGARANG KITAB
Ibnu Majah, atau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah al-Rab'i al-Quzwaini adalah seorang ahli hadis yang terkenal kerana menyusun kitab Sunan Ibnu Majah. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang menyatakan bahawa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama adalah lebih rajah. Manakala perkataan al-Qazwani adalah berasal daripada Qazwain iaitu nama sebuah Bandar yang termasyhur di Iraq.
Ulama yang dikenali dengan sifat kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak. Beliau dilahirkan pada tahun 207 H.
Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah mengemabar ke beberapa daerah dan negara untuk mencari, mengumpul, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antaranya ialah Rayy (Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir. Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan Hadis dari sumber-sumber yang dipercayai kesahihannya. Malah dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli Hadis, Imam Malik serta Al-Lays. Dari pengembaraannya ini, terdapat ramai ulama yang telah meriwayatkan Hadis dari Ibnu Majah. Antaranya ialah Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.
Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang Hadis, sejarah, feqh dan tafsir. Di bidang tafsir, beliau telah menulis Tafsir Al-quranul Karim. Sementara di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.
Karyanya yang menjadi monumental dan terkenal di kalangan kaum muslimin adalah hasil karyanya di bidang Hadis yang berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesar beliau. Dalam kitabnya itu, Ibnu Majah telah meriwayatkan sebanyak 4000 buah Hadis seperti yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain. Ia bukan hanya melingkungi hukum Islam, malah turut membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dan daripada banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebahagiannya sebagai Hadis lemah. Pada asalnya, kitab Sunan Ibnu Majah ini tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah kerana dalam kitabnya ini terdapat hadith yang daif bahkan hadith munkar. Oleh karena itu para ulama’ memasukkan kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut Ibnu Hajar ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah ke dalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian disokong pula Abdul Ghani dalam kitabnya Asmaur Rizal. Namun begitu, kedudukan Sunan Ibnu Majah di dalam al-Sunan al-Sittah adalah dikatakan paling rendah sekali kerana didapati banyak hadith dhaif dan dikatakan juga terdapat hadith maudu’ di dalamnya.
Atas ketekunan dan konsistensinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu Hadis, banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama bernama Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini misalnya, berkata: “Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal Hadis.” Ulama lain, seperti Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, mengambarkannya sebagai seorang ahli Hadis besar dan mufassir (ahli tafsir), pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli Hadis kenamaan negerinya. Sementara mufassir dan pengkritik Hadis kenamaan, Ibnu Kasir, dalam karyanya, Al-Bidayah, berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibiliti dan kesetiaan beliau kepada Hadis dan usul serta furu’.”
Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan fikirannya kepada Islam, akhirnya Imam Ibnu Majah menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M pada hari Selasa. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Ada pendapat yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih rajih. Walaupun beliau sudah lama sampai ke penghujung perjalanan hidupnya, namun hingga kini beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah (Enam Kitab Utama Hadis).
LATAR PENDIDIKAN
Perjalanan beliau dalam pendidikan adalah sama dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, beliau juga melalui perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu Ilahi, dan kerana itulah ilmu yang dituntut oleh beliau memiliki nilai yang tersendiri. Antaranya beliau sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya itu, beliau telah bertemu dan bermuzakarah dengan ramai guru yang dicarinya dan daripada merekalah beliau menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan hasil yang sangat manis dan bermanfaat kerana dengan perjalanannya inilah yang memberi inspirasi kepada lahirnya buku yang sangat besar sekali manfaatnya, iaitu kitab "Sunan Ibnu Majah".
GURU-GURU DAN ANAK MURID IBNU MAJAH
Guru memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keintelektualan anak didiknya, maka tidak hairan sekiranya, seorang guru yang hebat mempunyai anak didik yang sama hebat dengan dirinya malahan terdapat juga anak didik mereka yang lebih hebat. Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah beliau telah menemukan beliau dengan banyak para syeikh pakar dalam bidang hadits, antaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi beliau lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahir bin Harb, Duhim, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hafidz Ali bin Muhammad At-Tanafasy, Jubarah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
METODOLOGI PENGARANG
Dalam penulisannya, beliau memulakan dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah feqh, hal ini seiring dengan metodologi para muhaddithin yang lain. Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta'liqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab feqh tersebut, tetapi beliau hanya mengkritik hadits-hadits yang menurut pandangan beliau adalah penting. Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab feqh yang lain, setelah mereka menulis hadits, mereka akan memasukkan pendapat para ulama faqih, namun dalam hal ini terdapat sedikit perbezaan antara Ibnu Majah dan penulis kitab lain, dimana beliau tidak menyebutkan pendapat para ulama faqih setelah penulisan hadits.
Imam ibnu Majah juga ternyata tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja sekiranya dirasakan penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari "Sunan Ibnu Majah".
KLASIFIKASI HADITH
Sunan Ibnu Majah berisi hadits shahih, hasan dan dhoif bahkan hadits munkar dan maudlu, meskipun jumlahnya kecil. Dibandingkan dengan kitab sunan yang lain, nilai Sunan Ibnu Majah jauh dibawahnya. Al-Mizzi berkata: “Semua hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendirian adalah dhoif”.
Al-Hafizh Syihabuddin al-Busairi (wafat tahun 840 H) dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibnu Majah membahas hadits-hadits tambahan (Zawaid) di dalam Sunan Ibnu Majah yang tidak terdapat dalam Kutubul Khamsah, serta menunjukkan derajat hadits itu: shahih, hasan, dhoif atau maudlu. Usaha Busairi ini menguatkan bantahan terhadap pendapat al-Mizzi sekaligus menguatkan pendapat Ibnu Hajar.
Terlepas dari pro-kontra, yang jelas derajat Sunan Ibnu Majah lebih rendah dari Kutubul Khamsah dan merupakan kitab sunan yang paling banyak mengandung hadits dhoif oleh karena itu, sebaiknya tidak menjadikan hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai dalil kecuali setelah mengkajinya terlebih dahulu. Bila ternyata hadits tersebut shahih atau hasan, maka boleh dijadikan pegangan; jika dhoif, hadits tersebut tidak boleh dipakai
Daripada keseluruhan hadithnya, terdapat empat ratus dua puluh lapan hadits diriwayatakan oleh para rijal yang dipercayai dan sanadnya shahih. Seratus sembilan puluh sembilan hadith, sanadnya adalah hasan. Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho'if. Sembilan puluh sembilan hadith sanadnya adalah Mungkar dan Maudu’. Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan majoriti isinya diisi dengan hadith yang shahih, sedangkan hadith yang mungkar dan maudu’ hanyalah didapati dengan jumlah yang sedikit. Manakala hadith yang lain terdapat dalam kitab al-Sunan al-Sittah yang lain.
428 Para rijal yang dipercayai dan sanadnya shahih
199 Sanadnya Hassan
613 Sanadnya Dhaif
99 Sanadnya Munkar dan Dusta.
Manakala menurut syeikh Al-Bany, dalam sunan ini terdapat sekitar lapan ratus hadits yang masuk dalam kategori hadits dho'ifhttp://www.blogger.com/img/blank.gif.
KRITIKAN ULAMA’ TERHADAP IBNU MAJAH
Sunan Ibnu Majah adalah sebuah kitab hadith yang termasyhur dan tersohor setiap pelusuk bumi. Walaupun, telah sedia maklum bahawa Sunan Ibnu Majah mengandungi hadith Dhaif. Namun, karya Imam Ibnu Majah ini telah berjaya menarik perhatian bagi umat Islam mengenai kewujudannya, sehingga ramai ulama’ kemudian yang mengkaji kitab ini. Terdapat dari para ilmuan terhadap kitabnya.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang sememangnya patut diberikan pujian, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menghasilkan karya yang terbaik dan bermanfaat bagi kaum muslimin sedunia, dapat dilihat bahawa buku ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadith yang sama kecuali sekiranya ia dianggap penting oleh pengarang. Shiddiq Hasan Khan dalam kitab 'Al-Hittah' berkata, "Tidak ada 'Kutubu As-Sittah' yang menyerupai seperti ini (Kitab Sunan Ibnu Majah), kerana ia menjaga sekali adanya pengulangan hadith-hadith, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti Imam Muslim R.A. dalam kitabnya, beliau turut tidak mengadakan pengulangan hadith dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau hanya mengulang hadith tersebut dalam satu judul.
Menurut al-Zahabi pula yang telah memetik sebahagian kata-kata Ibnu Majah kepada Abu Zar’ah, “Aku bentangkan kitabku kepada Abu Zar’ah(seorang tokoh hadith yang masyhur), kemudian beliau menberi pendapat, jika kitab ini sampai ke tangan orang yang mempelajari hadith nescaya akan ditinggalkan banyak kitab hadith yang lain.”
Manakala di dalam Kitab Tahzib al-Tahzib, Ibnu Hajar menjelaskan bahawa Sunan Ibnu Majah adalah sebuah kitab hadith yang lengkap dan mengandungi banyak bab. Di dalamnya terdapat beberapa hadith yang lengkap dan mengandungi banyak bab. Di dalamnya terdapat beberapa hadith yang dhaif. Ini menyebabkan seorang tokoh hadith yang bernama al-Sarra berkata, “Hadith-hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, kebiasaanya adalah dhaif”.
Menurut al-Hafidz al-Muzi, beliau berpendapat bahawa kebanyakkan gharib yang terdapat di dalam Sunan Ibnu Majah adalah dhaif.
Ulama’ yang mensyarahkan Sunan Ibnu Majah
Seperti sunan yang lain, Sunan Ibnu Majah juga disyarahkan oleh beberapa orang ulama’ yang terkenal, antaranya:
1. Jalaluddin al-Suyuty (meninggal dunia pada 911H), syarahnya dinamakan Misbah Al-Zujajah `Ala Sunan Ibnu Majah.
2. Al-Syeikh Sirajuddin Umar bin Ali al-Mulqan al-Syafie (meninggal dunia pada 804H), syarahnya dinamakan Ma Tamasa Ilaihi al-Hajat `Ala Sunan Ibnu Majah.
3. Abi al-Hassan bin Abdul Hadi al-Sindi (meninggal dunia pada 1136H), syarahnya Kifayah al-hajat Fi Syarh Ibnu Majah.
4. Kamaluddin Muhammad bin Musa (meninggal dunia pada 808H), kitabnya dinamakan al-Dibaajah.
5. Abdul Ghani al-Dihlawi (meninggal dunia pada 128H), syarahnya dinamakan Injaah al-Hajat.
6.
PENUTUP
Sunan Ibnu Majah merupakan sunan yang menjadi rebutan dan menyebabkan perselisihan pendapat di kalangan ulama’ selepasnya. Ini adalah disebabkan kerana masalah dalam meletakkan Sunan Ibnu Majah di kedudukan ke berapa selepas Sunan al-Khamsah. Sunan Ibnu Majah sering kali dibandingkan dengan al-Muwatta’ karangan Imam Malik. Namun demikian, Sunan Ibnu Majah lebih diutamakan oleh kebanyakkan ulama’ adalah kerana didalamnya terdapat banyak penambahan hadith berbanding al-Muwatta’.
Dengan ini dapatlah disimpulkan bahawa Imam Ibnu Majah adalah seorang ahli hadith yang terkemuka dan mempunyai keperibadian yang istimewa, ilmunya yang luas, kesabarannya yang berterusan serta usahanya yang gigih dalam menghasilkan karya-karyanya. Kesungguhan dan ketekunan beliau menceburkan diri dalam tafsir adalah untuk menjelas, mengolah kitabullah melalui hadith Rasulullah s.a.w serta mengkaji dan mencatat sunnah Rasulullah untuk rujukan generasi terkemudian.
Peninggalan Imam Ibnu Majah telah menyebabkan keadaan dan suasana pada waktu itu keruh dan kesedihan yang meyelubungi keseluruhannya. Sehingga Muhammad Ibnu Al-Aswad al-Qazwini iaitu seorang penyair terkenal pada masa itu telah menunjukkan kesedihannya melalui bait syairnya.“Sesungguhnya kehilangan Ibnu Majah telah melemahkan kemahkotaan ilmu dan mengoncangkan segala-galanya.