Wednesday, 3 June 2015

BOLEHKAH PENGGUGURAN KANDUNGAN ATAS SEBAB PENYAKIT JANIN???


PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN
PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN
1

Segala  puji  kepunyaan  Allah.  Shalawat  dan  salam   semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.

Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan  beberapa hakikat penting, antara lain:

Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya  sebagai  suatu  wujud  yang  hidup  yang  wajib dijaga, sehingga syariat  memperbolehkan  wanita  hamil  untuk berbuka  puasa  (tidak  berpuasa)  pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang  diwajibkan  berbuka  jika  ia   khawatir   akan keselamatan    kandungannya.    Karena   itu   syariat   Islam mengharamkan tindakan melampaui  batas  terhadapnya,  meskipun yang   melakukan   ayah   atau   ibunya   sendiri  yang  telah mengandungnya dengan susah payah.  Bahkan  terhadap  kehamilan yang  haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya tetap tidak boleh  digugurkan,  karena  ia  merupakan  manusia hidup yang tidak berdosa:
"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain ..." (al-Isra': 15)
Selain itu,  kita  juga  mengetahui  bahwa  syara'  mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya,  sebagaimana kisah  wanita  al-Ghamidiyah  yang  diriwayatkan  dalam  kitab sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada  waliyul-amri (pihak  pemerintah)  untuk  menghukum  wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang  ada  di  dalam kandungannya.

Seperti  kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada seseorang  yang  memukul  perut wanita  yang  hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan  tadi.  Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2

Sedangkan  jika  bayi  itu  lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah),  sebesar seperdua puluh diat.

Kita  juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat --disamping  diat  dan  ghirrah--  yaitu  memerdekakan seorang  budak  yang  beriman,  jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal  itu  diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.

Ibnu  Qudamah  berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga  diriwayatkan  dari  Umar  r.a..  Mereka berdalil dengan firman Allah:

"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92)

Mereka berkata,  "Apabila  wanita  hamil  meminum  obat  untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang  membunuh tidak  boleh  mewarisi  sesuatu  dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat  yaitu  menggugurkan janin.  Sedangkan  memerdekakan  budak  merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya.  Demikian  pula  jika  yang  menggugurkan janin  itu  ayahnya  maka  si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu  daripadanya,  dan  harus  memerdekakan budak."3

Jika  tidak  mendapatkan  budak (atau tidak mampu memerdekakan budak),   maka   ia   harus   berpuasa   selama   dua    bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.

Lebih  dari  itu  adalah  perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan  janin  setelah  ditiupkannya  ruh,  yakni setelah  kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm  menganggap  tindakan ini  sebagai  tindak  kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko,  seperti  hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:

"Jika  ada  orang  bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang  perempuan  yang  sengaja  membunuh  janinnya  setelah kandungannya  berusia  seratus dua puluh hari, atau orang lain yang  membunuhnya  dengan  memukul  (atau  tindakan  apa  pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum  qishash, tidak  boleh  tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar  ghirrah  atau denda  saja  karena  itu  merupakan  diat,  tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal itu  merupakan  pembunuhan  dengan sengaja.  Dia  dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu  jiwa  (manusia)  yang  beriman  dengan  sengaja,   maka menghilangkan  (membunuh)  jiwa  harus  dibalas dengan dibunuh pula. Meski  demikian,  keluarga  si  terbunuh  mempunyai  dua alternatif,  menuntut  hukum  qishash  atau  diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan  Rasulullah  saw.  terhadap  orang  yang membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq."

Mengenai   wanita   yang   meminum   obat  untuk  menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata:

"Jika anak itu belum ditiupkan  ruh  padanya,  maka  dia  (ibu tersebut)  harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka dia  terkena  ghirrah  dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi  hukum  qishash  atau  membayar tebusan dengan hartanya sendiri."4

Janin  yang  telah  ditiupkan  ruh  padanya,  oleh  Ibnu  Hazm dianggap sebagai sosok  manusia,  sehingga  beliau  mewajibkan mengeluarkan   zakat   fitrah   untuknya.  Sedangkan  golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.

Semua itu menunjukkan kepada  kita  betapa  perhatian  syariat terhadap   janin,   dan   betapa  ia  menekankan  penghormatan kepadanya, khususnya  setelah  sampai  pada  tahap  yang  oleh hadits  disebut  sebagai  tahapan  an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang  harus  kita  terima begitu  saja,  asalkan  riwayatnya  sah,  dan  tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:
"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (al-Isra': 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata  kehidupan  yang  dikenal seperti   kita   ini,   meskipun  para  pensyarah  dan  fuqaha memahaminya  demikian.  Hakikat  yang  ditetapkan  oleh   ilmu pengetahuan  sekarang  secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan  manusia yang  diistilahkan  oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an:
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi  diantara  hadits-hadits  sahih  terdapat  hadits  yang tampaknya   bertentangan   dengan   hadits  Ibnu  Mas'ud  yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh  setelah  usia kandungan  melampaui  masa  tiga  kali  empat  puluh hari (120hari).

Imam  Muslim  meriwayatkan  dalam   Shahih-nya   dari   hadits Hudzaifah  bin  Usaid,  ia  berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

"Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuaidengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu."5

Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi  nutfah  setelah  berusia  enam  minggu  (empat puluh dua hari)6  bukan  setelah  berusia   seratus   dua   puluh   hari sebagaimana  disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal itu.  Sebagian  ulama  mengompromikan  kedua  hadits  tersebut dengan  mengatakan  bahwa  malaikat  itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari,  dan  kali lain  pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh.7

Karena  itu  para   fuqaha   telah   sepakat   akan   haramnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang  pun  yang  menentang  ketetapan  ini,  baik  dari kalangan salaf maupun khalaf.8

Adapun  pada  tahap  sebelum  ditiupkannya  ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan  sebelum ditiupkannya   ruh   itu,  sebagian  saudara  kita  yang  ahli kedokteran dan anatomi mengatakan,  "Sesungguhnya  hukum  yang ditetapkan  para  ulama  yang  terhormat  itu  didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui apa  yang  kita  ketahui  sekarang  mengenai  wujud hidup yang membawa ciri-ciri  keturunan  (gen)  kedua  orang  tuanya  dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka  karena  mengikuti  perubahan  'illat  (sebab hukum),  karena  hukum  itu  berputar menurut 'illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya 'illat."

Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di  kalangan  ahli  kandungan  dan  anatomi  sendiri  terdapat perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan  diantara  mereka  ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.

Barangkali ini merupakan  rahmat  Allah  kepada  manusia  agar udzur dan darurat itu mempunyai tempat.

Maka   tidak   apalah  apabila  saya  sebutkan  sebagian  dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:

Syekhul  Islam  al-Hafizh  Ibnu  Hajar   didalam   Fathul-Bari menyinggung    mengenai    pengguguran   kandungan   --setelah membicarakan  secara  panjang  lebar  mengenai  masalah   'azl (mencabut  zakar  untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang  boleh dan  tidaknya  melakukan  hal  itu,  yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya  dalil  pihak yang melarangnya. Beliau berkata:

"Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum  wanita  menggunakan obat  untuk  menggugurkan  (merusak)  nutfah  (embrio) sebelum ditiupkannya  ruh.  Barangsiapa  yang   mengatakan   hal   ini terlarang,  maka  itulah  yang  lebih  layak;  dan  orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan  dengan  'azl. Tetapi  kedua  kasus  ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena  'azl  itu  dilakukan sebelum  terjadinya  sebab  (kehidupan),  sedangkan  perusakan nutfah  itu  dilakukan  setelah  terjadinya  sebab   kehidupan (anak)."9

Sementara  itu,  diantara  fuqaha  ada  yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari  dan  yang berusia   lebih   dari   empat   puluh   hari.   Lalu   mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat  puluh hari,  dan  melarangnya  bila  usianya  telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka  adalah  hadits  Muslim  yang  saya  sebutkan  di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang  termasuk  kitab  mazhab Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari:

"Ada yang  mengatakan  bahwa  hal  itu  tidak  dapat  dihukumi  sebagai  pengguguran  dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan  bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak,  dan  tidak   boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus)."10

Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap  sebelum penciptaan  janin  dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu  mereka  memperbolehkan  aborsi   (pengguguran)   sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.

Didalam  an-Nawadir,  dari  kitab  mazhab  Hanafi, disebutkan, "Seorang  wanita  yang   menelan   obat   untuk   menggugurkan kandungannya,    tidaklah    berdosa   asalkan   belum   jelas bentuknya."11

Didalam kitab-kitab  mereka  juga  mereka  ajukan  pertanyaan: bolehkah  menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.

Kemudian di tempat  lain  mereka  berkata,  "Tidaklah  terjadipembentukan   (penciptaan)  melainkan  setelah  kandungan  itu berusia seratus dua puluh hari. "
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin  al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab  jika  tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12

Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui  oleh ilmu pengetahuan sekarang.

Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertianbahwa kebolehan menggugurkan kandungan  itu  tidak  bergantung pada  izin  suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar:   "Mereka   berkata,   'Diperbolehkan    menggugurkan kandungan  sebelum  berusia  empat  bulan, meskipun tanpa izin suami.'"

Namun demikian, diantara  ulama  Hanafiyah  ada  yang  menolak hukum  yang  memperbolehkan  pengguguran  secara  mutlak  itu, mereka berkata, "Saya tidak  mengatakan  halal,  karena  orang yang  sedang  ihram  saja  apabila memecahkan telur buruan itu harus  menggantinya,  karena  itulah   hukum   asal   mengenai pembunuhan.  Kalau  orang  yang melakukan ihram saja dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang  yang menggugurkan kandungan tanpa udzur."

Diantara  mereka  ada  pula yang mengatakan makruh, karena air (sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi  mempunyai hukum  sebagai  manusia  hidup,  seperti halnya telur binatang buruan  pada  waktu  ihram.  Karena  itu  ahli  tahqiq  mereka berkata,  "Maka  kebolehan  menggugurkan  kandungan  itu harus diartikan karena dalam keadaan udzur, atau  dengan  pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13

Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan pengguguran, meskipunsebelum ditiupkannya ruh.

Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang  'azl dan  mereka  anggap  hal  ini sebagai "pembunuhan terselubung" sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa  'azl  berarti  menghalangi  sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan  kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran lebih  terlarang  lagi),  karena  sebab-sebab kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma  laki-laki  dengan  sel telur  perempuan  dan  terjadinya  pembuahan  yang menimbulkan wujud makhluk baru yang  membawa  sifat-sifat  keturunan  yang hanya Allah yang mengetahuinya.

Tetapi  ada  juga  ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau  anaknya  (yang baru  dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk  kebaikan  pendidikan  anak-anak,  atau  lainnya.  Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun  tingkat kejahatannya berbeda.

Diantara  yang  berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau  --meskipun  beliau  memperbolehkan  'azl  dengan alasan-alasan  yang  akurat menurut beliau-- membedakan dengan jelas   antara   menghalangi   kehamilan   dengan   'azl   dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:

"Hal  ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan terselubung;  sebab  yang  demikian (pengguguran  dan  pembunuhan  terselubung)  merupakan  tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan  wujud  itu mempunyai  beberapa  tingkatan.  Tingkatan  yang pertama ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur  dengan air   (mani)  perempuan  (ovum),  serta  siap  untuk  menerima kehidupan.  Merusak  keadaan  ini   merupakan   suatu   tindak kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka kejahatan terhadapnya  lebih  buruk  lagi  tingkatannya.  Jika telah  ditiupkan  ruh  padanya dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula.  Dan  sebagai puncak  kejahatan  terhadapnya  ialah  membunuhnya  setelah ia lahir dalam keadaan hidup."14

Perlu  diperhatikan,  bahwa   Imam   al-Ghazali   rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud manusia  yang  telah  ada,  tetapi  beliau   juga   menganggap pertemuan   sperma   dengan   ovum   sebagai   "siap  menerima kehidupan."

Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau  tahu  apa yang  kita  ketahui  sekarang  bahwa  kehidupan  telah terjadi semenjak bertemunya sel  sperma  laki-laki  dengan  sel  telur wanita?

Karena  itu  saya  katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai  dengan perkembangan kehidupan janin."

Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang  boleh  digugurkan  karena  udzur yang  muktabar  (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin  kuat, karena  itu  tidak  boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran  yang  ditetapkan  ahli  fiqih. Keharaman  itu  bertambah  kuat  dan  berlipat  ganda  setelah kehamilan berusia seratus dua puluh  hari,  yang  oleh  hadits diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."

Dalam  hal  ini  tidak  diperbolehkan  menggugurkannya kecuali dalam  keadaan  benar-benar  sangat  darurat,  dengan   syarat kedaruratan  yang  pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang  diperbolehkan  karena  darurat  itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.

Menurut  pendapat  saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja, yaitu  keberadaan  janin  apabila  dibiarkan akan   mengancam   kehidupan  si  ibu,  karena  ibu  merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan  janin  sebagai  fara' (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan  syara' juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.

Tetapi  ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak memperbolehkan tindak kejahatan  (pengguguran)  terhadap janin  yang  hidup  dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan:

"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan     tidak     mungkin     dikeluarkan    kecuali    dengan memotong-motongnya,  yang  apabila  tidak  dilakukan  tindakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ... mereka  berpendapat,  'Jika  anak  itu  sudah  dalam   keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena  menghidupkan  suatu jiwa  dengan  membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara'.'"15

Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara',  yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil mafsadatnya.

Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran  lain dari kasus di atas, yaitu:

"Adanya  ketetapan  secara  ilmiah yang menegaskan bahwa janin --sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi  kondisi yang  buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:

"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."

Tetapi  hendaknya  hal  ini  ditetapkan  oleh  beberapa  orang dokter, bukan cuma seorang.

Pendapat  yang  kuat  menyebutkan  bahwa  janin  setelah genap berusia empat bulan adalah manusia hidup yang  sempurna.  Maka melakukan  tindak  kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.

Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami kondisi  yang  sangat  buruk  dan  membahayakan biasanya tidak bertahan hidup setelah  dilahirkan,  sebagaimana  sering  kita saksikan,  dan  sebagaimana  dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri.

Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya. Saya  kemukakan  disini  suatu  peristiwa  yang  saya terlibat didalamnya, yang  terjadi  beberapa  tahun  silam.  Yaitu  ada seorang  teman  yang  berdomisili  di  salah satu negara Barat meminta  fatwa  kepada  saya  sehubungan  para  dokter   telah menetapkan  bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia lima bulan-- akan lahir dalam  kondisi  yang  amat  buruk.  Ia menjelaskan  bahwa  pendapat  dokter-dokter  itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak  ditetapkan  secara  meyakinkan.  Maka jawaban  saya  kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan ketentuan  urusan  itu  kepadaNya,  barangkali dugaan  dokter  itu  tidak  tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang  berisi foto  seorang  anak  yang  molek  yang  disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian:

"Pamanda yang terhormat,

Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur  kepada  Allah Ta'ala,  bahwa  engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari  pisau  para  dokter  bedah.  Fatwamu   telah   menjadi   sebab  kehidupanku,  karena  itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu  ini selama saya masih hidup."

Kemajuan  ilmu  kedokteran  sekarang  telah  mampu  mendeteksi kerusakan  (cacat)  janin  sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai tahap  ditiupkannya  ruh.  Namun  demikian,  tidaklah dipandang  akurat  jika  dokter  membuat  dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak)  akan  mengalami  cacat  --seperti buta,  tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya  kandungan.  Sebab   cacat-cacat   seperti   itu merupakan  penyakit  yang  sudah  dikenal  di  masyarakat luas sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak  orang,  lagi pula  tidak  menghalangi  mereka  untuk bersamasama orang lain memikul  beban  kehidupan  ini.  Bahkan  manusia  banyak  yang mengenal  (melihat)  kelebihan para penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah.

Selain itu, kita tidak boleh mempunyai  keyakinan  bahwa  ilmu pengetahuan  manusia  dengan segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya ..." (al-Insan: 2)

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi  pada  zaman  kita sekarang  ini  telah  turut  andil  dalam memberikan pelajaran  kepada   orang-orang   cacat   untuk   meraih   keberuntungan, sebagaimana   keduanya  telah  turut  andil  untuk  memudahkan kehidupan mereka.  Dan  banyak  diantara  mereka  (orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan  sunnah-Nya  Allah mengganti  mereka  dengan  beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa.

Allah berfirman dengan kebenaran,  dan  Dia-lah  yang  memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
 

CATATAN KAKI:
 
1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran, di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'. ^
2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550. ^
3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557. ^
4 Al-Muhalla, juz 11. ^
5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni Ummihi," hadits nomor 2645. ^
6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelahmengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwajanin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki tahap baru dan perkembangan yang lain. ^
7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi. ^
8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan alam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm. -- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat ini. ^
9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi. ^
10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416 terbitan al-Halabi. ^
11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233Darul-Ma'rifah, Beirut. ^
12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq. ^
13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih, juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq. ^
14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah," hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.^
15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233.
^

Wednesday, 20 May 2015

BENARKAH HAWA PUNCA ADAM DIUSIR DARI SYURGA???


PERANAN HAWA DALAM PENGUSIRAN ADAM DARI SURGA

Pertanyaan:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka terusir  dari  surga  dan  menyebabkan penderitaan bagi kita (anak cucunya) di dunia.

Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan  kedudukan kaum  wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering dituding sebagai cikal bakal datangnya segala  musibah  yang terjadi  di  dunia,  baik  pada  orang-orang  dahulu  maupun sekarang.

Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah dalam   Islam   dalil   yang   menunjukkan   hal  itu,  atau kebalikannya?

Kami harap  Ustadz  berkenan  menjelaskannya.  Semoga  Allah memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.
Jawaban:
Pendapat  yang  ditanyakan  saudara  penanya,  tentang  kaum wanita -seperti ibu kita Hawa - yang harus bertanggung jawab atas  kesengsaraan  hidup  manusia,  dengan mengatakan bahwa Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan  buah  terlarang ...  dan  seterusnya,  tidak  diragukan lagi adalah pendapat yang tidak islami.

Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian dan  tambahannya.  Ini  merupakan pendapat yang diimani oleh kaum  Yahudi  dan  Nasrani,  serta  sering   menjadi   bahan referensi  bagi  para  pemikir, penyair, dan penulis mereka. Bahkan tidak sedikit (dan ini  sangat  disayangkan)  penulis muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.

Namun,  bagi  orang  yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur'an yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun  dalam beberapa  surat,  tidak  akan bertaklid buta seperti itu. Ia akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.

1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah
   berfirman:
"Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim.'" (al-Baqarah: 35)
2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan, sebagaimana difirmankan Allah:
"Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula ..." (al-Baqarah: 36)
Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai tipu daya dan bujuk rayu setan:
"Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang kekal (dalam surga).' Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, 'Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi nasihat kepada kamu berdua.' Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka, 'Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?' Keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orangyang merugi.'" (al-A'raf: 20-23)
Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu, bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus. Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang dipersalahkan - karena pelanggaran itu - pun adalah Adam. Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.
  
   Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam,' maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami berkata, 'Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari didalamnya. 'Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, 'Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?' Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk." (Thaha: 115-122)
3. Al-Qur'an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan memakan buah terlarang.
  
Firman Allah:
 "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan befirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.' Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar?' Mereka menjawab, 'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?'" (al-Baqarah: 30-33)
Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s. bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu (lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan ini tercantum dalam Taurat.
  
Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama, bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang dimasukkan orang ke dalam Taurat.
  
Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi.
  
4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.
  
Para ulama berbeda pendapat mengenai "surga" Adam ini, apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah "jannah" (taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun (jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari." (al-Qalam: 17)
Dalam surat lain Allah berfirman:
"Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu." (al-Kahfi: 32-33)

Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris Sa'adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui lebih jauh masalah ini. Wallahu a'lam.

Thursday, 8 January 2015

BOLEHKAH MEMINUM AIR SUSU WANITA LAIN???


BANK SUSU

Pertanyaan:

Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah.

Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih  disebut  rawan,  tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang  dapat  menjalin hubungan  nasab  dan  paling  dapat  menjadikan  jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).

Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang  sedang menyusui  agar  bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk  diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang  dapat  membahayakannya  bila  diberi  susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah  barang  tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum  ibu,  kemudian  diberikan  kepada berpuluh-puluh  bahkan  beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan ... tanpa saling mengetahui  dengan  jelas  susu siapa  dan  dikonsumsi  siapa,  baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.

Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek.

Maka,  apakah  oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia  turut  andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?

Jika    mubah    dan    halal,   maka   apakah   alasan   yang memperbolehkannya?  Apakah  Ustadz  memandang   karena   tidak menetek   secara   langsung?   Atau   karena  ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang  jumlah  mereka sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu  tidak  mungkin  dilacak atau diidentifikasi?
 
Jawaban:

Segala   puji  kepunyaan  Allah.  Shalawat  dan  salam  semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya  bank  air  susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung  oleh  Islam,  untuk  memberikan pertolongan   kepada   semua   yang   lemah,   apa  pun  sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan  adalah  bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak  disangsikan  lagi  bahwa  perempuan  yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan  golongan  anak-anak  lemah ini  akan  mendapatkan  pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika  ia tak  berkenan  menyumbangkannya,  sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim.

Juga  tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan  "air  susu"   itu   --yang   mensterilkan   serta memeliharanya   agar  dapat  dikonsumsi  oleh  bayi-bayi  atau anak-anak  sebagaimana  yang   digambarkan   penanya--   patut mendapatkan  ucapan  terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.

Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan  dibalik  kegiatan  yang mulia ini?

Yang  dikhawatirkan  ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah,  dan akan  menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu  ketika  hendak  menikah  dengan  salah   seorang   dari putri-putri  bank  susu  itu.  Ini  yang  dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu  dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari  air  susu  yang  ditampung  itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank  susu  tersebut,  yang sudah  tentu  menjadi  ibu  susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu  tersebut,  baik  putri  itu  sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi  pemuda  itu menikah  dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula  baginya  menikah dengan  putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur  fuqaha--  karena mereka  adalah  saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta masih banyak masalah dan hukum lain  berkenaan  dengan  susuan ini.

Oleh  karena  itu,  saya  harus  membagi  masalah  ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.

Pertama,  menjelaskan  pengertian  radha'   (penyusuan)   yang menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman.

Kedua,  menjelaskan  kadar  susuan  yang  menjadikan  haramnya perkawinan.

Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhn' (Penyusuan)

Makna radha'  (penyusuan)  yang  menjadi  acuan  syara'  dalam menetapkan  pengharaman  (perkawinan),  menurut  jumhur fuqaha --termasuk tiga orang imam mazhab,  yaitu  Imam  Abu  Hanifah, Imam  Malik,  dan  Imam  Syafi'i--  ialah  segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara  menghisap  atau  lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air  susu  lewat  mulut  ke  kerongkongan),  bahkan mereka  samakan  pula  dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan  dengan  menyamakannya  dengan suntikan lewat dubur (anus).

Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad,  yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Allamah  Ibnu  Qudamah  menyebutkan  dua  riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa'uth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya  (yakni  dengan  memasukkan  susu  ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan  daging  dan membentuk  tulang,  maka  sama  saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung  (sa'uth),  karena  merupakan  jalan  yang  dapat  membatalkan  puasa,  maka  ia  juga  menjadi  jalan terjadinya pengharaman (perkawinan)  karena  susuan,  sebagaimana  halnya melalui mulut.

Riwayat  kedua,  bahwa  hal  ini  tidak  menyebabkan  haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.

Disebutkan  di  dalam  al-Mughni  "Ini  adalah  pendapat  yang dipilih   Abu   Bakar,   mazhab   Daud,  dan  perkataan  Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian  ini  bukan penyusuan,  sedangkan  Allah  dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena  memasukkan  susu  lewat hidung  bukan  penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."

Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan  riwayat yang  pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

 "Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging"

Hadits yang dijadikan hujjah oleh  pengarang  kitab  al-Mughni ini  sebenarnya  tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau  direnungkan  justru  menjadi  hujjah  untuk  menyanggah pendapatnya.  Sebab  hadits  ini  membicarakan  penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam   pembentukan   anak   dengan   membesarkan  tulang  dan menumbuhkan    dagingnya.    Hal    ini    menafikan    (tidak memperhitungkan)    penyusuan   yang   sedikit,   yang   tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali  atau  dua  kali isapan,  karena  yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang  dan  menumbuhkan  daging.  Maka   hadits   itu   hanya menetapkan  pengharaman  (perkawinan)  karena  penyusuan  yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena  itu, pertama-tama  harus  ada  penyusuan  sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan  dominan; Penj.).

Selanjutnya  pengarang  al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui  penyusuan--  serta  dapat  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib    disamakan   dengan   penyusuan   dalam   mengharamkan (perkawinan).  Karena  hal  itu  juga  merupakan  jalan   yang membatalkan  puasa  bagi  orang  yang  berpuasa,  maka ia juga merupakan  jalan  untuk  mengharamkan  perkawinan  sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."

Saya  mengomentari  pengarang  kitab  al-Mughni  rahimahullah, "Kalau  'illat-nya  adalah  karena  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan  daging  dengan  cara  apa  pun,  maka  wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan  darah  seorang  wanita kepada  seorang  anak  menjadikan  wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab  transfusi  lewat  pembuluh  darah  ini lebih  cepat  dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum   agama   tidaklah   dapat    dipastikan    dengan dugaan-dugaan,   karena   persangkaan   adalah   sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak  berguna  sedikit  pun  untuk mencapai kebenaran."

Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan asas  pengharamnya  itu   pada   "keibuan   yang   menyusukan" sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:
"... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23)
Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata  karena  diambilkan  air  susunya,  tetapi  karena menghisap  teteknya  dan   selalu   lekat   padanya   sehingga melahirkan  kasih  sayang  si  ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan  ini  maka  muncullah  persaudaraan  sepersusuan. Jadi,  keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.

Dengan demikian, kita wajib  berhenti  pada  lafal-lafal  yang dipergunakan   Syari'  di  sini.  Sedangkan  lafal-lafal  yang dipergunakanNya  itu  seluruhnya   membicarakan   irdha'   dan radha'ah  (penyusuan),  dan  makna  lafal  ini  menurut bahasa Al-Qur'an  dan  As-Sunnah  sangat  jelas  dan  terang,   yaitu memasukkan  tetek  ke  mulut  dan  menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.

Saya kagum terhadap pandangan  Ibnu  Hazm  mengenai  hal  ini. Beliau   berhenti  pada  petunjuk  nash  dan  tidak  melampaui batas-batasnya,  sehingga  mengenai   sasaran,   dan   menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.
Saya  kutipkan  di  sini  beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:

"Adapun  sifat  penyusuan   yang   mengharamkan   (perkawinan) hanyalah  yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang  yang  diberi  minum susu  seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur   dengan  makanan  lain,  dituangkan  kedalam  mulut, hidung, atau  telinganya,  atau  dengan  suntikan,  maka  yang demikian  itu  sama  sekali  tidak  mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.
Alasannya adalah firman Allah Azza wa  Jalla:  'Dan  ibu-ibumu yang  menyusui  kamu  dan saudara perempuanmu sepersusuan ...' (an-Nisa':23)
Dan sabda Rasulullah saw.:

"Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."

Maka dalam hal ini  Allah  dan  Rasul-Nya  tidak  mengharamkan nikah  kecuali  karena  irdha' (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu.  Dikatakan (dalam  qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu)  kecuali  jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan  mulutnya,  lalu  menghisapnya. Dikatakan  (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a -        yardha'u/yardhi'u        radha'an/ridha'an         wa radha'atan/ridha'atan.   Adapun   selain   cara  seperti  itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan  irdha',  radha'ah,  dan radha', melainkan hanya air susu,  makanan,  minuman,  minum,  makan,  menelan,  suntikan, menuangkan  ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla  tidak  mengharamkan   perkawinan   sama   sekali   yang disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu  Muhammad  berkata,  Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata,  'Memasukkan  air  susu perempuan  melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang  dimasuki  air  susunya tadi),  dan  tidak  mengharamkan  perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan  obat, karena  yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah  yang  dihisap  melalui  tetek.   Demikianlah   pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman --yakni Daud, imam Ahli  Zhahir--  dan  sahabat-sahabat  kami, yakni Ahli Zhahir."'

Sedangkan  pada  waktu  menyanggah  orang-orang  yang berdalil dengan hadits: "Sesungguhnya  penyusuan  itu  hanyalah  karena lapar," Ibnu Hazm berkata:

"Sesungguhnya  hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan  penyusuan  yang berfungsi  untuk  menghilangkan  kelaparan,  dan  beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu  tidak ada  pengharaman  (perkawinan)  karena  cara-cara  lain  untuk menghilangkan  kelaparan,   seperti   dengan   makan,   minum, menuangkan  susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari  tetek dengan  mulut  dan  menelannya),  sebagaimana  yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah):

"... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 229)2

Dengan   demikian,   saya   melihat   bahwa   pendapat    yangmenenteramkan  hati  ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum  kepada  irdha'  (menyusui) dan  radha'/ridha'  (menyusu).  Hal  ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu  adanya  rasa  keibuan yang  menyerupai  rasa  keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak),  persaudaraan  (sesusuan),  dan kekerabatan-kekerabatan  lainnya.  Maka  sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui  bank  susu,  yang  melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut --bukan menghisap dari tetek--  dan  menelannya),  sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat  alasan  lain  yang menghalangi   pengharaman   (perkawinan).  Yaitu,  kita  tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air  susunya  diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali susuan  menurut  pendapat  terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan  daging,  dan mengembangkan  tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam  air susu  lainnya  terhukum  sama  dengan  air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana  yang  dikatakan  oleh  Abu  Yusuf, bahwa  air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu  yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah  dikenal  bahwa  penyusuan  yang  meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:

"Apabila   timbul  keraguan  tentang  adanya  penyusuan,  atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang  mengharamkan,  apakah sempurna   ataukah   tidak,   maka   tidak   dapat  menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada  pengharaman.  Kita tidak   bisa  menghilangkan  sesuatu  yang  meyakinkan  dengan sesuatu  yang  meragukan,  sebagaimana  halnya  kalau  terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3

Sedangkan  di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan:

"Seorang perempuan  yang  memasukkan  puting  susunya  kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka  yang  demikian  itu tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian  pula  seorang  anak  perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja  mereka  itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan.  Karena kebolehan   nikah   merupakan  hukum  asal  yang  tidak  dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka  menyusui  setiap  anak kecuali   karena   darurat.  Jika  mereka  melakukannya,  maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai  sikap hati-hati."4

Tidaklah  samar,  bahwa  apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita  terima bahwa  yang  demikian  sebagai  penyusuan, maka hal itu adalah karena  darurat,  sedangkan   mengingatnya   dan   mencatatnya tidaklah  memungkinkan,  karena  bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu  dikukuhkan  menurut  pandangan  saya  dalam masalah  penyusuan  ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan  kedua masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank  susu"  selama  bertujuan  untuk   mewujudkan   maslahat syar'iyah  yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat  para fuqaha  yang  telah  saya  sebutkan  di  muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan  argumentasi  yang  saya  kemukakan  di atas.

Kadang-kadang  ada  orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat,   padahal   mengambil   sikap  hati-hati  itu  lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"

Saya jawab, bahwa apabila seseorang  melakukan  sesuatu  untuk dirinya  sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara'  (lebih  jauh  dari  syubhat), bahkan  lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.

Akan  tetapi,  apabila  masalah  itu  bersangkut  paut  dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang  lebih  utama bagi   ahli  fatwa  ialah  memberi  kemudahan,  bukan  memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang  teguh  dan  kaidah  yang telah mantap.

Karena   itu,   menjadikan   pemerataan  ujian  sebagai  upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan  karena kasihan   kepada   mereka.   Jikalau  kita  bandingkan  dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka  masyarakat  sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya   saja  yang  perlu  diingat  disini,  bahwa  memberikan pengarahan  dalam  segala  hal  untuk  mengambil  yang   lebih hati-hati  tanpa  mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita  menjadikan hukum-hukum  agama  itu  sebagai  himpunan "kehati-hatian" dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang  menjadi  tempat berpijaknya  agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah  saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. "(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang  kami  pilih  dalam  masalah-masalah  ini ialah   pertengahan   dan   seimbang   antara   golongan  yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan:
"Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)

Allah  memfirmankan  kebenaran,  dan  Dia-lah   yang   memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:
 
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.). ^
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11. ^
3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.^
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3.
^

Tuesday, 6 January 2015

SUARA WANITA YANG MENDAYU-DAYU BOLEH MENAIKKAN SYAHWAT LELAKI


FITNAH DAN SUARA WANITA

Pertanyaan:

Sebagian  orang  berprasangka  buruk  terhadap  wanita. Mereka  menganggap wanita sebagai sumber segala bencana dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata, "Periksalah   kaum   wanita!"   Bahkan  ada  pula  yang berkomentar,   "Wanita   merupakan   sebab   terjadinya penderitaan  manusia  sejak  zaman bapak manusia (Adam) hingga sekarang, karena wanitalah yang  mendorong  Adam untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan  atas dirinya dan diri kita sekarang."

Anehnya,  mereka  juga  mengemukakan  dalil-dalil agama untuk menguatkan pendapatnya  itu,  yang  kadang-kadang tidak  sahih,  dan adakalanya - meskipun sahih - mereka pahami   secara   tidak   benar,    seperti    terhadap hadits-hadits  yang  berisi  peringatan terhadap fitnah wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku  suatu  fitnah  yang lebih  membahayakan  bagi  laki-laki  daripada (fitnah) perempuan."

Apakah maksud hadits tersebut  dan  hadits-hadits  lain yang  seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang  dibawakan oleh para  penceramah  dan  khatib,  sehingga dijadikan  alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum   wanita   dan   oleh    sebagian    lagi    untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta (palsu)  karena  bersikap  keras  terhadap  wanita  dan kadang-kadang bersikap zalim.

Mereka  juga  mengatakan,  "Sesungguhnya suara wanita - sebagaimana wajahnya - adalah  aurat.  Wanita  dikurung dalam rumah sampai meninggal dunia."

Kami  yakin  bahwa  tidak ada agama seperti Islam, yang menyadarkan kaum wanita, melindunginya,  memuliakannya, dan  memberikan  hak-hak  kepadanya.  Namun, kami tidak memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz miliki.   Karena   itu,  kami  mengharap  ustadz  dapat menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits  ini  kepada orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura tidak mengerti.

Semoga Allah menambah  petunjuk  dan  taufik-Nya  untuk Ustadz  dan  menebar  manfaat  ilmu-Nya melalui Ustadz. Amin.
 
Jawaban:
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit  atau  agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan  menyayanginya.  Islam  memuliakan  wanita, memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai manusia. Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan memeliharanya sebagai anak perempuan.

Islam   memuliakan   wanita,   memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai istri. Islam  memuliakan  wanita,
memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan memelihara    serta   melindunginya   sebagai   anggota masyarakat.

Islam memuliakan wanita  sebagai  manusia  yang  diberi tugas  (taklif)  dan  tanggung  jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak  akan  mendapatkan  pahala atau  siksa  sebagai  balasannya.  Tugas yang mula-mula diberikan  Allah  kepada  manusia  bukan  khusus  untuk laki-laki,  tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu  pun  nash  Islam, baik   Al-Qur'an   maupun   As-Sunnah   sahihah,   yang mengatakan bahwa  wanita  (Hawa;  penj.)  yang  menjadi penyebab  diusirnya  laki-laki  (Adam)  dari  surga dan menjadi  penyebab  penderitaan  anak   cucunya   kelak, sebagaimana  disebutkan  dalam  Kitab  Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang  dimintai  pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).

Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam  yang merendahkan   kaum   wanita   dengan   cara  mengurangi hak-haknya  serta  mengharamkannya  dari  apa-apa  yang telah   ditetapkan   syara'.  Padahal,  syari'at  Islam sendiri telah menempatkan  wanita  pada  proporsi  yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan,  sebagai  istri,  atau  sebagai ibu.

Yang  lebih  memprihatinkan,  sikap  merendahkan wanita tersebut sering  disampaikan  dengan  mengatas  namakan agama  (Islam),  padahal  Islam  bebas  dari semua itu. Orang-orang yang bersikap  demikian  kerap  menisbatkan pendapatnya  dengan  hadits  Nabi  saw.  yang berbunyi: "Bermusyawarahlah   dengan   kaum    wanita    kemudian langgarlah (selisihlah)."

Hadits   ini  sebenarnya  palsu  (maudhu').  Tidak  ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya  ditinjau dari segi ilmu (hadits).

Yang  benar,  Nabi  saw.  pernah  bermusyawarah  dengan istrinya,  Ummu  Salamah,  dalam  satu  urusan  penting mengenai   umat.   Lalu   Ummu   Salamah   mengemukakan pemikirannya, dan  Rasulullah  pun  menerimanya  dengan rela  serta  sadar,  dan  ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.

Mereka,  yang  merendahkan  wanita  itu,  juga   sering menisbatkan  kepada  perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala  kejelekan itu berpangkal dari wanita."

Perkataan  ini  tidak  dapat  diterima  sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1

Bagaimana  bisa  terjadi  diskriminasi   seperti   itu, sedangkan  Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah,  wanita  beriman  dengan  laki-laki  beriman, wanita  yang  taat  dengan  laki-laki  yang  taat,  dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.

Mereka juga mengatakan bahwa suara  wanita  itu  aurat, karenanya   tidak   boleh  wanita  berkata-kata  kepada laki-laki selain suami  atau  mahramnya.  Sebab,  suara dengan  tabiatnya  yang  merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.

Ketika kami tanyakan dalil yang dapat  dijadikan  acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.

Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw.  dari balik    tabir?   Bukankah   isteri-isteri   Nabi   itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang  lebih  berat daripada  istri-istri  yang lain, sehingga ada beberapa perkara  yang  diharamkan  kepada  mereka  yang   tidak diharamkan  kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri  Nabi),  maka mintalah dari belakang tabir ..."(al-Ahzab: 53)
Permintaan atau  pertanyaan  (dari  para  sahabat)  itu sudah  tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin: istri-istri  Nabi).  Mereka  biasa memberi  fatwa  kepada  orang yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang  yang ingin mengambil hadits mereka.

Pernah  ada  seorang  wanita  bertanya kepada Nabi saw. dihadapan kaum laki-laki.  Ia  tidak  merasa  keberatan melakukan  hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika  Umar  sedang  berpidato  di  atas  mimbar. Atas sanggahan itu, Umar  tidak  mengingkarinya,  bahkan  ia mengakui   kebenaran   wanita   tersebut  dan  mengakui kesalahannya  sendiri  seraya  berkata,  "Semua   orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."

Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.)  yang  berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:
"...   Sesungguhnya  bapakku  memanggil  kamu  agar  ia memberi balasan terhadap  (kebaikan)-mu  memberi  minum (ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)
Sebelum  itu,  wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika  Musa  bertanya  kepada mereka:
"...  Apakah  maksudmu  (dengan  berbuat begitu)? Kedua wanita  itu  menjawab,  'Kami  tidak  dapat  meminumkan (ternak   kami),  sebelum  penggembala-penggembala  itu memulangkan (ternaknya), sedangkan  bapak  kami  adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)
Selanjutnya,  Al-Qur'an  juga  menceritakan kepada kita percakapan  yang  terjadi  antara  Nabi  Sulaiman  a.s. dengan  Ratu  Saba,  serta  percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi  sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan  pembicaraan untuk    menarik   laki-laki, yang  oleh  Al-Qur'a diistilahkan dengan al-khudhu  bil-qaul (tunduk/lunak/memikat   dalam  berbicara),  sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian  tidaklah  seperti wanita  yang  lain,  jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam  berbicara  sehingga  berkeinginanlah orang  yang  ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu,  yakni  cara  bicara  yang  bisa membangkitkan    nafsu    orang-orang    yang   hatinya "berpenyakit." Namun, dengan ini  bukan  berarti  Allah melarang   semua   pembicaraan   wanita  dengan  setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:

"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits   dengan   salah.   Hadits-hadits   yang  mereka sampaikan antara lain yang  diriwayatkan  Imam  Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidaklah  aku  tinggalkan  sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan  bagi  laki-laki  daripada  (fitnah) wanita."

Mereka  telah  salah  paham.  Kata  fitnah dalam hadits diatas mereka artikan  dengan  "wanita  itu  jelek  dan merupakan  azab,  ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia   seperti   ditimpa    kemiskinan,    penyakit, kelaparan,   dan  ketakutan."  Mereka  melupakan  suatu masalah yang  penting,  yaitu  bahwa  manusia  difitnah (diuji)  dengan  kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
"...  Kami  akan  menguji  kamu  dengan  keburukan  dan kebaikan  sebagai  cobaan (yang sebenar-benarnya) ...." (al-Anbiya: 35)
Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak  -  yang merupakan  kenikmatan  hidup  dunia  dan perhiasannya -
sebagai  fitnah  yang  harus  diwaspadai,   sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya  hartamu  dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)..." (at-Taghabun: 15)

"Dan  ketabuilah  bahwa  hartamu  dan  anak-anakmu  itu hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)
Fitnah  harta  dan  anak-anak  itu  ialah kadang-kadang harta atau anak-anak melalaikan manusia dari  kewajiban kepada  Tuhannya  dan  melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah  harta-hartamu dan  anak-anakmu  melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka  mereka  itulah orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana  dikhawatirkan  manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh  wanita,  terfitnah  oleh  istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan,  dan menyibukkan   mereka   dengan   kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan  melalaikan  mereka  dari
kepentingan-kepentingan    umum.   Mengenai   hal   ini Al-Qur'an memperingatkan:
"Hai   orang-orang   beriman,   sesungguhnya   diantara istri-istrimu  dan  anak-anakmu  ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka  ..." (at-Taghabun: 14)

 Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat  untuk  membangkitkan  nafsu  dan  syahwat   serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan  dapat
menghancurkan   akhlak,   mengotori   harga  diri,  dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.

Peringatan untuk berhati-hati  terhadap  wanita  disini seperti    peringatan   untuk   berhati-hati   terhadap kenikmatan harta,  kemakmuran,  dan  kesenangan  hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:

"Demi  Allah,  bukan  kemiskinan yang aku takutkan atas kamu,  tetapi  yang  aku  takutkan  ialah   dilimpahkan (kekayaan)  dunia  untuk  kamu  sebagaimana dilimpahkan untuk   orang-orang   sebelum   kamu,    lantas    kamu memperebutkannya      sebagaimana     mereka     dahulu berlomba-lomba  memperebutkannya,  lantas  kamu  binasa karenanya  sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)

Dari hadits ini tidak  berarti  bahwa  Rasulullah  saw. hendak  menyebarkan  kemiskinan,  tetapi  beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan  itu, dan  mendampingkan  kemiskinan  dengan  kekafiran. Juga tidak  berarti  bahwa  beliau  tidak  menyukai  umatnya mendapatkan  kelimpahan  dan  kemakmuran  harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:

"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik"  (HR. Ahmad  4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya  menurut  syarat  Muslim,  dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan  hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan)  yang  licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh  ke  dalam  jurang  tanpa
mereka sadari.

Catatan kaki:
 
1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam Fatwa-fatwa Kontemporer  jilid I ini. ^