Tuesday, 6 January 2015

SUARA WANITA YANG MENDAYU-DAYU BOLEH MENAIKKAN SYAHWAT LELAKI


FITNAH DAN SUARA WANITA

Pertanyaan:

Sebagian  orang  berprasangka  buruk  terhadap  wanita. Mereka  menganggap wanita sebagai sumber segala bencana dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata, "Periksalah   kaum   wanita!"   Bahkan  ada  pula  yang berkomentar,   "Wanita   merupakan   sebab   terjadinya penderitaan  manusia  sejak  zaman bapak manusia (Adam) hingga sekarang, karena wanitalah yang  mendorong  Adam untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan  atas dirinya dan diri kita sekarang."

Anehnya,  mereka  juga  mengemukakan  dalil-dalil agama untuk menguatkan pendapatnya  itu,  yang  kadang-kadang tidak  sahih,  dan adakalanya - meskipun sahih - mereka pahami   secara   tidak   benar,    seperti    terhadap hadits-hadits  yang  berisi  peringatan terhadap fitnah wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku  suatu  fitnah  yang lebih  membahayakan  bagi  laki-laki  daripada (fitnah) perempuan."

Apakah maksud hadits tersebut  dan  hadits-hadits  lain yang  seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang  dibawakan oleh para  penceramah  dan  khatib,  sehingga dijadikan  alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum   wanita   dan   oleh    sebagian    lagi    untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta (palsu)  karena  bersikap  keras  terhadap  wanita  dan kadang-kadang bersikap zalim.

Mereka  juga  mengatakan,  "Sesungguhnya suara wanita - sebagaimana wajahnya - adalah  aurat.  Wanita  dikurung dalam rumah sampai meninggal dunia."

Kami  yakin  bahwa  tidak ada agama seperti Islam, yang menyadarkan kaum wanita, melindunginya,  memuliakannya, dan  memberikan  hak-hak  kepadanya.  Namun, kami tidak memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz miliki.   Karena   itu,  kami  mengharap  ustadz  dapat menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits  ini  kepada orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura tidak mengerti.

Semoga Allah menambah  petunjuk  dan  taufik-Nya  untuk Ustadz  dan  menebar  manfaat  ilmu-Nya melalui Ustadz. Amin.
 
Jawaban:
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit  atau  agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan  menyayanginya.  Islam  memuliakan  wanita, memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai manusia. Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan memeliharanya sebagai anak perempuan.

Islam   memuliakan   wanita,   memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai istri. Islam  memuliakan  wanita,
memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan memelihara    serta   melindunginya   sebagai   anggota masyarakat.

Islam memuliakan wanita  sebagai  manusia  yang  diberi tugas  (taklif)  dan  tanggung  jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak  akan  mendapatkan  pahala atau  siksa  sebagai  balasannya.  Tugas yang mula-mula diberikan  Allah  kepada  manusia  bukan  khusus  untuk laki-laki,  tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu  pun  nash  Islam, baik   Al-Qur'an   maupun   As-Sunnah   sahihah,   yang mengatakan bahwa  wanita  (Hawa;  penj.)  yang  menjadi penyebab  diusirnya  laki-laki  (Adam)  dari  surga dan menjadi  penyebab  penderitaan  anak   cucunya   kelak, sebagaimana  disebutkan  dalam  Kitab  Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang  dimintai  pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).

Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam  yang merendahkan   kaum   wanita   dengan   cara  mengurangi hak-haknya  serta  mengharamkannya  dari  apa-apa  yang telah   ditetapkan   syara'.  Padahal,  syari'at  Islam sendiri telah menempatkan  wanita  pada  proporsi  yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan,  sebagai  istri,  atau  sebagai ibu.

Yang  lebih  memprihatinkan,  sikap  merendahkan wanita tersebut sering  disampaikan  dengan  mengatas  namakan agama  (Islam),  padahal  Islam  bebas  dari semua itu. Orang-orang yang bersikap  demikian  kerap  menisbatkan pendapatnya  dengan  hadits  Nabi  saw.  yang berbunyi: "Bermusyawarahlah   dengan   kaum    wanita    kemudian langgarlah (selisihlah)."

Hadits   ini  sebenarnya  palsu  (maudhu').  Tidak  ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya  ditinjau dari segi ilmu (hadits).

Yang  benar,  Nabi  saw.  pernah  bermusyawarah  dengan istrinya,  Ummu  Salamah,  dalam  satu  urusan  penting mengenai   umat.   Lalu   Ummu   Salamah   mengemukakan pemikirannya, dan  Rasulullah  pun  menerimanya  dengan rela  serta  sadar,  dan  ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.

Mereka,  yang  merendahkan  wanita  itu,  juga   sering menisbatkan  kepada  perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala  kejelekan itu berpangkal dari wanita."

Perkataan  ini  tidak  dapat  diterima  sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1

Bagaimana  bisa  terjadi  diskriminasi   seperti   itu, sedangkan  Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah,  wanita  beriman  dengan  laki-laki  beriman, wanita  yang  taat  dengan  laki-laki  yang  taat,  dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.

Mereka juga mengatakan bahwa suara  wanita  itu  aurat, karenanya   tidak   boleh  wanita  berkata-kata  kepada laki-laki selain suami  atau  mahramnya.  Sebab,  suara dengan  tabiatnya  yang  merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.

Ketika kami tanyakan dalil yang dapat  dijadikan  acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.

Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw.  dari balik    tabir?   Bukankah   isteri-isteri   Nabi   itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang  lebih  berat daripada  istri-istri  yang lain, sehingga ada beberapa perkara  yang  diharamkan  kepada  mereka  yang   tidak diharamkan  kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri  Nabi),  maka mintalah dari belakang tabir ..."(al-Ahzab: 53)
Permintaan atau  pertanyaan  (dari  para  sahabat)  itu sudah  tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin: istri-istri  Nabi).  Mereka  biasa memberi  fatwa  kepada  orang yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang  yang ingin mengambil hadits mereka.

Pernah  ada  seorang  wanita  bertanya kepada Nabi saw. dihadapan kaum laki-laki.  Ia  tidak  merasa  keberatan melakukan  hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika  Umar  sedang  berpidato  di  atas  mimbar. Atas sanggahan itu, Umar  tidak  mengingkarinya,  bahkan  ia mengakui   kebenaran   wanita   tersebut  dan  mengakui kesalahannya  sendiri  seraya  berkata,  "Semua   orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."

Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.)  yang  berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:
"...   Sesungguhnya  bapakku  memanggil  kamu  agar  ia memberi balasan terhadap  (kebaikan)-mu  memberi  minum (ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)
Sebelum  itu,  wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika  Musa  bertanya  kepada mereka:
"...  Apakah  maksudmu  (dengan  berbuat begitu)? Kedua wanita  itu  menjawab,  'Kami  tidak  dapat  meminumkan (ternak   kami),  sebelum  penggembala-penggembala  itu memulangkan (ternaknya), sedangkan  bapak  kami  adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)
Selanjutnya,  Al-Qur'an  juga  menceritakan kepada kita percakapan  yang  terjadi  antara  Nabi  Sulaiman  a.s. dengan  Ratu  Saba,  serta  percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi  sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan  pembicaraan untuk    menarik   laki-laki, yang  oleh  Al-Qur'a diistilahkan dengan al-khudhu  bil-qaul (tunduk/lunak/memikat   dalam  berbicara),  sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian  tidaklah  seperti wanita  yang  lain,  jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam  berbicara  sehingga  berkeinginanlah orang  yang  ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu,  yakni  cara  bicara  yang  bisa membangkitkan    nafsu    orang-orang    yang   hatinya "berpenyakit." Namun, dengan ini  bukan  berarti  Allah melarang   semua   pembicaraan   wanita  dengan  setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:

"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits   dengan   salah.   Hadits-hadits   yang  mereka sampaikan antara lain yang  diriwayatkan  Imam  Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidaklah  aku  tinggalkan  sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan  bagi  laki-laki  daripada  (fitnah) wanita."

Mereka  telah  salah  paham.  Kata  fitnah dalam hadits diatas mereka artikan  dengan  "wanita  itu  jelek  dan merupakan  azab,  ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia   seperti   ditimpa    kemiskinan,    penyakit, kelaparan,   dan  ketakutan."  Mereka  melupakan  suatu masalah yang  penting,  yaitu  bahwa  manusia  difitnah (diuji)  dengan  kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
"...  Kami  akan  menguji  kamu  dengan  keburukan  dan kebaikan  sebagai  cobaan (yang sebenar-benarnya) ...." (al-Anbiya: 35)
Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak  -  yang merupakan  kenikmatan  hidup  dunia  dan perhiasannya -
sebagai  fitnah  yang  harus  diwaspadai,   sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya  hartamu  dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)..." (at-Taghabun: 15)

"Dan  ketabuilah  bahwa  hartamu  dan  anak-anakmu  itu hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)
Fitnah  harta  dan  anak-anak  itu  ialah kadang-kadang harta atau anak-anak melalaikan manusia dari  kewajiban kepada  Tuhannya  dan  melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah  harta-hartamu dan  anak-anakmu  melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka  mereka  itulah orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana  dikhawatirkan  manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh  wanita,  terfitnah  oleh  istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan,  dan menyibukkan   mereka   dengan   kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan  melalaikan  mereka  dari
kepentingan-kepentingan    umum.   Mengenai   hal   ini Al-Qur'an memperingatkan:
"Hai   orang-orang   beriman,   sesungguhnya   diantara istri-istrimu  dan  anak-anakmu  ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka  ..." (at-Taghabun: 14)

 Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat  untuk  membangkitkan  nafsu  dan  syahwat   serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan  dapat
menghancurkan   akhlak,   mengotori   harga  diri,  dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.

Peringatan untuk berhati-hati  terhadap  wanita  disini seperti    peringatan   untuk   berhati-hati   terhadap kenikmatan harta,  kemakmuran,  dan  kesenangan  hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:

"Demi  Allah,  bukan  kemiskinan yang aku takutkan atas kamu,  tetapi  yang  aku  takutkan  ialah   dilimpahkan (kekayaan)  dunia  untuk  kamu  sebagaimana dilimpahkan untuk   orang-orang   sebelum   kamu,    lantas    kamu memperebutkannya      sebagaimana     mereka     dahulu berlomba-lomba  memperebutkannya,  lantas  kamu  binasa karenanya  sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)

Dari hadits ini tidak  berarti  bahwa  Rasulullah  saw. hendak  menyebarkan  kemiskinan,  tetapi  beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan  itu, dan  mendampingkan  kemiskinan  dengan  kekafiran. Juga tidak  berarti  bahwa  beliau  tidak  menyukai  umatnya mendapatkan  kelimpahan  dan  kemakmuran  harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:

"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik"  (HR. Ahmad  4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya  menurut  syarat  Muslim,  dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan  hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan)  yang  licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh  ke  dalam  jurang  tanpa
mereka sadari.

Catatan kaki:
 
1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam Fatwa-fatwa Kontemporer  jilid I ini. ^

0 comments:

Post a Comment