Monday, 5 January 2015

POSISI DAN KAEDAH LAYANAN SUAMI TERHADAP ISTERI


HAK ISTERI ATAS SUAMI
 
Pertanyaan:
Saya menikah  dengan  seorang  laki-laki  yang  usianya lebih  tua  daripada saya dengan selisih lebih dari dua puluh tahun. Namun,  saya  tidak  menganggap  perbedaan usia    sebagai   penghalang   yang   menjauhkan   saya daripadanya atau membuat saya lari  daripadanya.  Kalau dia  memperlihatkan  wajah,  lisan,  dan hatinya dengan baik sudah barang tentu hal  itu  akan  melupakan  saya terhadap  perbedaan  usia ini. Tetapi sayang, semua itu tak saya peroleh. Saya tidak pernah  mendapatkan  wajah yang  cerah,  perkataan  manis, dan perasaan hidup yang menenteramkan.   Dia   tidak   begitu   peduli   dengan keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.

Dia  memang  tidak  bakhil  dalam  memberi  nafkah  dan pakaian, sebagaimana dia juga  tidak  pernah  menyakiti badan  saya.  Tetapi,  tentunya  bukan  cuma  ini  yang diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya.  Saya melihat  posisi  saya  hanya sebagai objek santapannya, untuk  melahirkan  anak,  atau   sebagai   alat   untuk bersenang-senang  manakala  ia  butuh bersenang-senang. Inilah yang menjadikan saya merasa  bosan,  jenuh,  dan hampa.  Saya  merasakan  hidup  ini sempit. Lebih-lebih bila saya melihat teman-teman saya yang  hidup  bersama suaminya   dengan   penuh  rasa  cinta,  tenteram,  dan bahagia.

Pada suatu kesempatan saya  mengadu  kepadanya  tentang sikapnya  ini,  tetapi  dia  menjawab  dengan bertanya, "Apakah aku kurang dalam  memenuhi  hakmu?  Apakah  aku bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"

Masalah  inilah  yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz agar suami isteri  itu  tahu:  Apakah  hanya  pemenuhan kebutuhan  material  seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal itu saja yang  menjadi  kewajiban  suami terhadap  isterinya  menurut hukum syara'? Apakah aspek kejiwaan tidak ada nilainya  dalam  pandangan  syari'at Islam yang cemerlang ini?

Saya,  dengan  fitrah  saya  dan  pengetahuan saya yang rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam  demikian. Karena  itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan aspek psikologis  ini  dalam  kehidupan  suami  isteri, karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.

Semoga Allah menjaga Ustadz.
 
Jawaban:
Apa yang  dipahami  oleh  saudara  penanya  berdasarkan fitrahnya   dan  pengetahuan  serta  peradabannya  yang rendah itu  merupakan  kebenaran  yang  dibawakan  oleh syari'at Islam yang cemerlang.

Syari'at   mewajibkan   kepada   suami  untuk  memenuhi kebutuhan  isterinya  yang  berupa  kebutuhan  material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing,  atau seperti  yang  dikatakan  oleh  Al  Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut)

Namun,   Syari'at   tidak   pernah    melupakan    akan kebutuhan-kebutuhan  spiritual  yang  manusia  tidaklah bernama     manusia     kecuali      dengan      adanya kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga  kuno:  "Maka  karena  jiwamu  itulah   engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."

Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta  dan salah    satu    nikmat   yang   diberikan-Nya   kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
 
"Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah   Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya, dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih dan sayang. Sesungguhnya  pada  yang   demikian   itu   benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)
 
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup  bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara  keduanya,  yang  semua  ini   merupakan   aspek kejiwaan,  bukan  material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami isteri yang  sunyi  dari  aspek-aspek  maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.

Dalam  hal  ini banyak suami yang keliru - padahal diri mereka sebenarnya baik - ketika  mereka  mengira  bahwa kewajiban  mereka  terhadap isteri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat  tinggal,  tidak  ada  yang lain  lagi.  Dia  melupakan  bahwa  wanita (isteri) itu bukan hanya  membutuhkan  makan,  minum,  pakaian,  dan lain-lain  kebutuhan  material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik,  wajah  yang  ceria,  senyum  yang manis,   sentuhan   yang  lembut,  ciuman  yang  mesra, pergaulan yang penuh kasih  sayang,  dan  belaian  yang lembut   yang   menyenangkan   hati  dan  menghilangkan kegundahan.

Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab   pergaulan   diantara   mereka   yang   kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua  itu. Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang  baik  terhadapnya  dan sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:

"...  Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma'ruf (patut) ..., (An Nisa': 19)

"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil  dari kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )

"...  Dan  berbuat  baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin, tetangga  yang  dekat  dan  tetangga  yang  jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa: 36)
 

Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.

Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik kepada  mereka  (isteri)  bukan  cuma  tidak  menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka,  dan penyantun  ketika  mereka  sedang  emosi  serta  marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah saw.  Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula  salah  seorang  dari mereka menghindari beliau sehari semalam.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu kalau engkau  marah  dan  kalau  engkau  rela."  Aisyah bertanya,  "Bagaimana  engkau  tahu?"  Beliau menjawab, "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi  Tuhan
Muhammad,'  dan  bila  engkau  marah,  engkau  berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah  menjawab,  "Betul,
(kalau   aku  marah)  aku  hanya  menghindari  menyebut namamu."

Dari adab  yang  dikemukakan  Imam  Ghazali  itu  dapat ditambahkan  bahwa  disamping  bersabar  menerima  atau menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu,  bergurau, dan  bermain-main  dengan  mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan  hati  wanita.  Rasulullah  saw. biasa   bergurau   dengan   isteri-isteri   beliau  dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan   berakhlak,  sehingga  diriwayatkan  bahwa  beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.

Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras  itu  -  pernah berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah seorang laki-laki."

Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah  membenci alja'zhari  al-jawwazh,"  dikatakan bahwa yang dimaksud ialah  orang  yang  bersikap  keras   terhadap   isteri (keluarganya)   dan   sombong  pada  dirinya.  Dan  ini merupakan salah satu makna  firman  Allah:  'utul.  Ada yang  mengatakan  bahwa  lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.

Keteladanan tertinggi bagi semua itu  ialah  Rasulullah saw.   Meski   bagaimanapun   besarnya   perhatian  dan banyaknya kesibukan beliau dalam  mengembangkan  dakwah dan  menegakkan  agama,  memelihara jama'ah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh  yang  senantiasa  mengintainya dari luar, beliau tetap  sangat  memperhatikan  para  isterinya.   Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca  Al-Qur'an, dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya  berdiri  ketika  melakukan  shalat  lail,  dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun,  sesibuk  apa  pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau  penuhi.Jadi,  aspek-aspek  Rabbani  tidaklah  melupakan beliau terhadap aspek  insani  dalam  melayani  mereka  dengan memberikan  makanan  ruhani  dan  perasaan  mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.

Dalam  menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:

"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya  ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar  menemani  Aisyah  bermain. Apabila  isterinya  (Aisyah)  menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah  minum  dari  suatu  bejana,  maka  beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan  mulut  beliau  di  tempat  mulut  Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."

Beliau  biasa  bersandar  di  pangkuan  Aisyah,  beliau membaca  Al  Qur'an  sedang  kepala  beliau  berada  di pangkuannya.  Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau  menyuruhnya   memakai   sarung,   lalu   beliau memeluknya.  Bahkan,  pernah  juga  menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.

Diantara kelemahlembutan dan akhlak  baik  beliau  lagi ialah   beliau   memperkenankannya  untuk  bermain  dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang  Habsyi ketika  mereka  sedang  bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau  untuk  melihat permainan  orang-orang  Habsyi  itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan  keluar  dari rumah bersama-sama.

Sabda Nabi saw:

"Sebaik-baik  kamu  ialah  yang  paling  baik  terhadap keluarganya, dan aku  adalah  orang  yang  paling  baik terhadap keluargaku."

Apabila   selesai   melaksanakan   shalat  ashar,  Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi)  isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu tiba  giliran  beliau  untuk  bermalam. Aisyah berkata, "Rasulullah  saw.  tidak   melebihkan   sebagian   kami terhadap  sebagian  yang  lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati  tiap-tiap  isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga  sampai  kepada  isteri  yang  menjadi   giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ."1

Kalau  kita  renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi saw.  tentang  pergaulan  beliau dengan  isteri-isteri  beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan   mendekati  mereka.  Tetapi  beliau  mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan  berarti beliau   bersikap  pilih  kasih,  tetapi  karena  untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau  mengawini  Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang  laki-laki  pun  selain  beliau. Kebutuhan  wanita  muda  seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan disini bukan  sekadar  nafkah,  pakaian,  dan hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting  dan  lebih  dalam  daripada semua  itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi  saw.  selalu  ingat  aspek  tersebut   dan senantiasa   memberikan   haknya   serta  tidak  pernah melupakannya  meskipun  tugas  yang  diembannya  besar, seperti  mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.

"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu."

Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Catatan kaki:
 
1.Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.

0 comments:

Post a Comment