Thursday, 8 January 2015

BOLEHKAH MEMINUM AIR SUSU WANITA LAIN???


BANK SUSU

Pertanyaan:

Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah.

Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih  disebut  rawan,  tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang  dapat  menjalin hubungan  nasab  dan  paling  dapat  menjadikan  jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).

Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang  sedang menyusui  agar  bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk  diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang  dapat  membahayakannya  bila  diberi  susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah  barang  tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum  ibu,  kemudian  diberikan  kepada berpuluh-puluh  bahkan  beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan ... tanpa saling mengetahui  dengan  jelas  susu siapa  dan  dikonsumsi  siapa,  baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.

Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek.

Maka,  apakah  oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia  turut  andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?

Jika    mubah    dan    halal,   maka   apakah   alasan   yang memperbolehkannya?  Apakah  Ustadz  memandang   karena   tidak menetek   secara   langsung?   Atau   karena  ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang  jumlah  mereka sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu  tidak  mungkin  dilacak atau diidentifikasi?
 
Jawaban:

Segala   puji  kepunyaan  Allah.  Shalawat  dan  salam  semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya  bank  air  susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung  oleh  Islam,  untuk  memberikan pertolongan   kepada   semua   yang   lemah,   apa  pun  sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan  adalah  bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak  disangsikan  lagi  bahwa  perempuan  yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan  golongan  anak-anak  lemah ini  akan  mendapatkan  pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika  ia tak  berkenan  menyumbangkannya,  sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim.

Juga  tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan  "air  susu"   itu   --yang   mensterilkan   serta memeliharanya   agar  dapat  dikonsumsi  oleh  bayi-bayi  atau anak-anak  sebagaimana  yang   digambarkan   penanya--   patut mendapatkan  ucapan  terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.

Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan  dibalik  kegiatan  yang mulia ini?

Yang  dikhawatirkan  ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah,  dan akan  menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu  ketika  hendak  menikah  dengan  salah   seorang   dari putri-putri  bank  susu  itu.  Ini  yang  dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu  dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari  air  susu  yang  ditampung  itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank  susu  tersebut,  yang sudah  tentu  menjadi  ibu  susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu  tersebut,  baik  putri  itu  sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi  pemuda  itu menikah  dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula  baginya  menikah dengan  putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur  fuqaha--  karena mereka  adalah  saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta masih banyak masalah dan hukum lain  berkenaan  dengan  susuan ini.

Oleh  karena  itu,  saya  harus  membagi  masalah  ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.

Pertama,  menjelaskan  pengertian  radha'   (penyusuan)   yang menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman.

Kedua,  menjelaskan  kadar  susuan  yang  menjadikan  haramnya perkawinan.

Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhn' (Penyusuan)

Makna radha'  (penyusuan)  yang  menjadi  acuan  syara'  dalam menetapkan  pengharaman  (perkawinan),  menurut  jumhur fuqaha --termasuk tiga orang imam mazhab,  yaitu  Imam  Abu  Hanifah, Imam  Malik,  dan  Imam  Syafi'i--  ialah  segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara  menghisap  atau  lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air  susu  lewat  mulut  ke  kerongkongan),  bahkan mereka  samakan  pula  dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan  dengan  menyamakannya  dengan suntikan lewat dubur (anus).

Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad,  yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Allamah  Ibnu  Qudamah  menyebutkan  dua  riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa'uth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya  (yakni  dengan  memasukkan  susu  ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan  daging  dan membentuk  tulang,  maka  sama  saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung  (sa'uth),  karena  merupakan  jalan  yang  dapat  membatalkan  puasa,  maka  ia  juga  menjadi  jalan terjadinya pengharaman (perkawinan)  karena  susuan,  sebagaimana  halnya melalui mulut.

Riwayat  kedua,  bahwa  hal  ini  tidak  menyebabkan  haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.

Disebutkan  di  dalam  al-Mughni  "Ini  adalah  pendapat  yang dipilih   Abu   Bakar,   mazhab   Daud,  dan  perkataan  Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian  ini  bukan penyusuan,  sedangkan  Allah  dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena  memasukkan  susu  lewat hidung  bukan  penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."

Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan  riwayat yang  pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

 "Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging"

Hadits yang dijadikan hujjah oleh  pengarang  kitab  al-Mughni ini  sebenarnya  tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau  direnungkan  justru  menjadi  hujjah  untuk  menyanggah pendapatnya.  Sebab  hadits  ini  membicarakan  penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam   pembentukan   anak   dengan   membesarkan  tulang  dan menumbuhkan    dagingnya.    Hal    ini    menafikan    (tidak memperhitungkan)    penyusuan   yang   sedikit,   yang   tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali  atau  dua  kali isapan,  karena  yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang  dan  menumbuhkan  daging.  Maka   hadits   itu   hanya menetapkan  pengharaman  (perkawinan)  karena  penyusuan  yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena  itu, pertama-tama  harus  ada  penyusuan  sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan  dominan; Penj.).

Selanjutnya  pengarang  al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui  penyusuan--  serta  dapat  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib    disamakan   dengan   penyusuan   dalam   mengharamkan (perkawinan).  Karena  hal  itu  juga  merupakan  jalan   yang membatalkan  puasa  bagi  orang  yang  berpuasa,  maka ia juga merupakan  jalan  untuk  mengharamkan  perkawinan  sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."

Saya  mengomentari  pengarang  kitab  al-Mughni  rahimahullah, "Kalau  'illat-nya  adalah  karena  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan  daging  dengan  cara  apa  pun,  maka  wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan  darah  seorang  wanita kepada  seorang  anak  menjadikan  wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab  transfusi  lewat  pembuluh  darah  ini lebih  cepat  dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum   agama   tidaklah   dapat    dipastikan    dengan dugaan-dugaan,   karena   persangkaan   adalah   sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak  berguna  sedikit  pun  untuk mencapai kebenaran."

Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan asas  pengharamnya  itu   pada   "keibuan   yang   menyusukan" sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:
"... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23)
Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata  karena  diambilkan  air  susunya,  tetapi  karena menghisap  teteknya  dan   selalu   lekat   padanya   sehingga melahirkan  kasih  sayang  si  ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan  ini  maka  muncullah  persaudaraan  sepersusuan. Jadi,  keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.

Dengan demikian, kita wajib  berhenti  pada  lafal-lafal  yang dipergunakan   Syari'  di  sini.  Sedangkan  lafal-lafal  yang dipergunakanNya  itu  seluruhnya   membicarakan   irdha'   dan radha'ah  (penyusuan),  dan  makna  lafal  ini  menurut bahasa Al-Qur'an  dan  As-Sunnah  sangat  jelas  dan  terang,   yaitu memasukkan  tetek  ke  mulut  dan  menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.

Saya kagum terhadap pandangan  Ibnu  Hazm  mengenai  hal  ini. Beliau   berhenti  pada  petunjuk  nash  dan  tidak  melampaui batas-batasnya,  sehingga  mengenai   sasaran,   dan   menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.
Saya  kutipkan  di  sini  beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:

"Adapun  sifat  penyusuan   yang   mengharamkan   (perkawinan) hanyalah  yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang  yang  diberi  minum susu  seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur   dengan  makanan  lain,  dituangkan  kedalam  mulut, hidung, atau  telinganya,  atau  dengan  suntikan,  maka  yang demikian  itu  sama  sekali  tidak  mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.
Alasannya adalah firman Allah Azza wa  Jalla:  'Dan  ibu-ibumu yang  menyusui  kamu  dan saudara perempuanmu sepersusuan ...' (an-Nisa':23)
Dan sabda Rasulullah saw.:

"Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."

Maka dalam hal ini  Allah  dan  Rasul-Nya  tidak  mengharamkan nikah  kecuali  karena  irdha' (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu.  Dikatakan (dalam  qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu)  kecuali  jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan  mulutnya,  lalu  menghisapnya. Dikatakan  (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a -        yardha'u/yardhi'u        radha'an/ridha'an         wa radha'atan/ridha'atan.   Adapun   selain   cara  seperti  itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan  irdha',  radha'ah,  dan radha', melainkan hanya air susu,  makanan,  minuman,  minum,  makan,  menelan,  suntikan, menuangkan  ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla  tidak  mengharamkan   perkawinan   sama   sekali   yang disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu  Muhammad  berkata,  Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata,  'Memasukkan  air  susu perempuan  melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang  dimasuki  air  susunya tadi),  dan  tidak  mengharamkan  perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan  obat, karena  yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah  yang  dihisap  melalui  tetek.   Demikianlah   pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman --yakni Daud, imam Ahli  Zhahir--  dan  sahabat-sahabat  kami, yakni Ahli Zhahir."'

Sedangkan  pada  waktu  menyanggah  orang-orang  yang berdalil dengan hadits: "Sesungguhnya  penyusuan  itu  hanyalah  karena lapar," Ibnu Hazm berkata:

"Sesungguhnya  hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan  penyusuan  yang berfungsi  untuk  menghilangkan  kelaparan,  dan  beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu  tidak ada  pengharaman  (perkawinan)  karena  cara-cara  lain  untuk menghilangkan  kelaparan,   seperti   dengan   makan,   minum, menuangkan  susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari  tetek dengan  mulut  dan  menelannya),  sebagaimana  yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah):

"... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 229)2

Dengan   demikian,   saya   melihat   bahwa   pendapat    yangmenenteramkan  hati  ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum  kepada  irdha'  (menyusui) dan  radha'/ridha'  (menyusu).  Hal  ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu  adanya  rasa  keibuan yang  menyerupai  rasa  keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak),  persaudaraan  (sesusuan),  dan kekerabatan-kekerabatan  lainnya.  Maka  sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui  bank  susu,  yang  melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut --bukan menghisap dari tetek--  dan  menelannya),  sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat  alasan  lain  yang menghalangi   pengharaman   (perkawinan).  Yaitu,  kita  tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air  susunya  diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali susuan  menurut  pendapat  terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan  daging,  dan mengembangkan  tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam  air susu  lainnya  terhukum  sama  dengan  air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana  yang  dikatakan  oleh  Abu  Yusuf, bahwa  air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu  yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah  dikenal  bahwa  penyusuan  yang  meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:

"Apabila   timbul  keraguan  tentang  adanya  penyusuan,  atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang  mengharamkan,  apakah sempurna   ataukah   tidak,   maka   tidak   dapat  menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada  pengharaman.  Kita tidak   bisa  menghilangkan  sesuatu  yang  meyakinkan  dengan sesuatu  yang  meragukan,  sebagaimana  halnya  kalau  terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3

Sedangkan  di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan:

"Seorang perempuan  yang  memasukkan  puting  susunya  kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka  yang  demikian  itu tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian  pula  seorang  anak  perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja  mereka  itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan.  Karena kebolehan   nikah   merupakan  hukum  asal  yang  tidak  dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka  menyusui  setiap  anak kecuali   karena   darurat.  Jika  mereka  melakukannya,  maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai  sikap hati-hati."4

Tidaklah  samar,  bahwa  apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita  terima bahwa  yang  demikian  sebagai  penyusuan, maka hal itu adalah karena  darurat,  sedangkan   mengingatnya   dan   mencatatnya tidaklah  memungkinkan,  karena  bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu  dikukuhkan  menurut  pandangan  saya  dalam masalah  penyusuan  ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan  kedua masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank  susu"  selama  bertujuan  untuk   mewujudkan   maslahat syar'iyah  yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat  para fuqaha  yang  telah  saya  sebutkan  di  muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan  argumentasi  yang  saya  kemukakan  di atas.

Kadang-kadang  ada  orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat,   padahal   mengambil   sikap  hati-hati  itu  lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"

Saya jawab, bahwa apabila seseorang  melakukan  sesuatu  untuk dirinya  sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara'  (lebih  jauh  dari  syubhat), bahkan  lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.

Akan  tetapi,  apabila  masalah  itu  bersangkut  paut  dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang  lebih  utama bagi   ahli  fatwa  ialah  memberi  kemudahan,  bukan  memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang  teguh  dan  kaidah  yang telah mantap.

Karena   itu,   menjadikan   pemerataan  ujian  sebagai  upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan  karena kasihan   kepada   mereka.   Jikalau  kita  bandingkan  dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka  masyarakat  sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya   saja  yang  perlu  diingat  disini,  bahwa  memberikan pengarahan  dalam  segala  hal  untuk  mengambil  yang   lebih hati-hati  tanpa  mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita  menjadikan hukum-hukum  agama  itu  sebagai  himpunan "kehati-hatian" dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang  menjadi  tempat berpijaknya  agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah  saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. "(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang  kami  pilih  dalam  masalah-masalah  ini ialah   pertengahan   dan   seimbang   antara   golongan  yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan:
"Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)

Allah  memfirmankan  kebenaran,  dan  Dia-lah   yang   memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:
 
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.). ^
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11. ^
3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.^
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3.
^

Tuesday, 6 January 2015

SUARA WANITA YANG MENDAYU-DAYU BOLEH MENAIKKAN SYAHWAT LELAKI


FITNAH DAN SUARA WANITA

Pertanyaan:

Sebagian  orang  berprasangka  buruk  terhadap  wanita. Mereka  menganggap wanita sebagai sumber segala bencana dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata, "Periksalah   kaum   wanita!"   Bahkan  ada  pula  yang berkomentar,   "Wanita   merupakan   sebab   terjadinya penderitaan  manusia  sejak  zaman bapak manusia (Adam) hingga sekarang, karena wanitalah yang  mendorong  Adam untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan  atas dirinya dan diri kita sekarang."

Anehnya,  mereka  juga  mengemukakan  dalil-dalil agama untuk menguatkan pendapatnya  itu,  yang  kadang-kadang tidak  sahih,  dan adakalanya - meskipun sahih - mereka pahami   secara   tidak   benar,    seperti    terhadap hadits-hadits  yang  berisi  peringatan terhadap fitnah wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku  suatu  fitnah  yang lebih  membahayakan  bagi  laki-laki  daripada (fitnah) perempuan."

Apakah maksud hadits tersebut  dan  hadits-hadits  lain yang  seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang  dibawakan oleh para  penceramah  dan  khatib,  sehingga dijadikan  alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan kaum   wanita   dan   oleh    sebagian    lagi    untuk menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta (palsu)  karena  bersikap  keras  terhadap  wanita  dan kadang-kadang bersikap zalim.

Mereka  juga  mengatakan,  "Sesungguhnya suara wanita - sebagaimana wajahnya - adalah  aurat.  Wanita  dikurung dalam rumah sampai meninggal dunia."

Kami  yakin  bahwa  tidak ada agama seperti Islam, yang menyadarkan kaum wanita, melindunginya,  memuliakannya, dan  memberikan  hak-hak  kepadanya.  Namun, kami tidak memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz miliki.   Karena   itu,  kami  mengharap  ustadz  dapat menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits  ini  kepada orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura tidak mengerti.

Semoga Allah menambah  petunjuk  dan  taufik-Nya  untuk Ustadz  dan  menebar  manfaat  ilmu-Nya melalui Ustadz. Amin.
 
Jawaban:
Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit  atau  agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan  menyayanginya.  Islam  memuliakan  wanita, memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai manusia. Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan memeliharanya sebagai anak perempuan.

Islam   memuliakan   wanita,   memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai istri. Islam  memuliakan  wanita,
memberikan  haknya,  dan memeliharanya sebagai ibu. Dan Islam  memuliakan  wanita,   memberikan   haknya,   dan memelihara    serta   melindunginya   sebagai   anggota masyarakat.

Islam memuliakan wanita  sebagai  manusia  yang  diberi tugas  (taklif)  dan  tanggung  jawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak  akan  mendapatkan  pahala atau  siksa  sebagai  balasannya.  Tugas yang mula-mula diberikan  Allah  kepada  manusia  bukan  khusus  untuk laki-laki,  tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu  pun  nash  Islam, baik   Al-Qur'an   maupun   As-Sunnah   sahihah,   yang mengatakan bahwa  wanita  (Hawa;  penj.)  yang  menjadi penyebab  diusirnya  laki-laki  (Adam)  dari  surga dan menjadi  penyebab  penderitaan  anak   cucunya   kelak, sebagaimana  disebutkan  dalam  Kitab  Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama yang  dimintai  pertanggungjawaban (lihat kembali surat Thaha: 115-122).

Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam  yang merendahkan   kaum   wanita   dengan   cara  mengurangi hak-haknya  serta  mengharamkannya  dari  apa-apa  yang telah   ditetapkan   syara'.  Padahal,  syari'at  Islam sendiri telah menempatkan  wanita  pada  proporsi  yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan,  sebagai  istri,  atau  sebagai ibu.

Yang  lebih  memprihatinkan,  sikap  merendahkan wanita tersebut sering  disampaikan  dengan  mengatas  namakan agama  (Islam),  padahal  Islam  bebas  dari semua itu. Orang-orang yang bersikap  demikian  kerap  menisbatkan pendapatnya  dengan  hadits  Nabi  saw.  yang berbunyi: "Bermusyawarahlah   dengan   kaum    wanita    kemudian langgarlah (selisihlah)."

Hadits   ini  sebenarnya  palsu  (maudhu').  Tidak  ada nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya  ditinjau dari segi ilmu (hadits).

Yang  benar,  Nabi  saw.  pernah  bermusyawarah  dengan istrinya,  Ummu  Salamah,  dalam  satu  urusan  penting mengenai   umat.   Lalu   Ummu   Salamah   mengemukakan pemikirannya, dan  Rasulullah  pun  menerimanya  dengan rela  serta  sadar,  dan  ternyata dalam pemikiran Ummu Salamah terdapat kebaikan dan berkah.

Mereka,  yang  merendahkan  wanita  itu,  juga   sering menisbatkan  kepada  perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala  kejelekan itu berpangkal dari wanita."

Perkataan  ini  tidak  dapat  diterima  sama sekali; ia bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1

Bagaimana  bisa  terjadi  diskriminasi   seperti   itu, sedangkan  Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan muslimah,  wanita  beriman  dengan  laki-laki  beriman, wanita  yang  taat  dengan  laki-laki  yang  taat,  dan seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.

Mereka juga mengatakan bahwa suara  wanita  itu  aurat, karenanya   tidak   boleh  wanita  berkata-kata  kepada laki-laki selain suami  atau  mahramnya.  Sebab,  suara dengan  tabiatnya  yang  merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.

Ketika kami tanyakan dalil yang dapat  dijadikan  acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.

Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw.  dari balik    tabir?   Bukankah   isteri-isteri   Nabi   itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang  lebih  berat daripada  istri-istri  yang lain, sehingga ada beberapa perkara  yang  diharamkan  kepada  mereka  yang   tidak diharamkan  kepada selain mereka? Namun demikian, Allah berfirman:
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri  Nabi),  maka mintalah dari belakang tabir ..."(al-Ahzab: 53)
Permintaan atau  pertanyaan  (dari  para  sahabat)  itu sudah  tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum mukmin: istri-istri  Nabi).  Mereka  biasa memberi  fatwa  kepada  orang yang meminta fatwa kepada mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang  yang ingin mengambil hadits mereka.

Pernah  ada  seorang  wanita  bertanya kepada Nabi saw. dihadapan kaum laki-laki.  Ia  tidak  merasa  keberatan melakukan  hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika  Umar  sedang  berpidato  di  atas  mimbar. Atas sanggahan itu, Umar  tidak  mengingkarinya,  bahkan  ia mengakui   kebenaran   wanita   tersebut  dan  mengakui kesalahannya  sendiri  seraya  berkata,  "Semua   orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."

Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.)  yang  berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:
"...   Sesungguhnya  bapakku  memanggil  kamu  agar  ia memberi balasan terhadap  (kebaikan)-mu  memberi  minum (ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)
Sebelum  itu,  wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika  Musa  bertanya  kepada mereka:
"...  Apakah  maksudmu  (dengan  berbuat begitu)? Kedua wanita  itu  menjawab,  'Kami  tidak  dapat  meminumkan (ternak   kami),  sebelum  penggembala-penggembala  itu memulangkan (ternaknya), sedangkan  bapak  kami  adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)
Selanjutnya,  Al-Qur'an  juga  menceritakan kepada kita percakapan  yang  terjadi  antara  Nabi  Sulaiman  a.s. dengan  Ratu  Saba,  serta  percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi  sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan  pembicaraan untuk    menarik   laki-laki, yang  oleh  Al-Qur'a diistilahkan dengan al-khudhu  bil-qaul (tunduk/lunak/memikat   dalam  berbicara),  sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian  tidaklah  seperti wanita  yang  lain,  jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam  berbicara  sehingga  berkeinginanlah orang  yang  ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu,  yakni  cara  bicara  yang  bisa membangkitkan    nafsu    orang-orang    yang   hatinya "berpenyakit." Namun, dengan ini  bukan  berarti  Allah melarang   semua   pembicaraan   wanita  dengan  setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:

"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits   dengan   salah.   Hadits-hadits   yang  mereka sampaikan antara lain yang  diriwayatkan  Imam  Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidaklah  aku  tinggalkan  sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan  bagi  laki-laki  daripada  (fitnah) wanita."

Mereka  telah  salah  paham.  Kata  fitnah dalam hadits diatas mereka artikan  dengan  "wanita  itu  jelek  dan merupakan  azab,  ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia   seperti   ditimpa    kemiskinan,    penyakit, kelaparan,   dan  ketakutan."  Mereka  melupakan  suatu masalah yang  penting,  yaitu  bahwa  manusia  difitnah (diuji)  dengan  kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
"...  Kami  akan  menguji  kamu  dengan  keburukan  dan kebaikan  sebagai  cobaan (yang sebenar-benarnya) ...." (al-Anbiya: 35)
Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak  -  yang merupakan  kenikmatan  hidup  dunia  dan perhiasannya -
sebagai  fitnah  yang  harus  diwaspadai,   sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya  hartamu  dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)..." (at-Taghabun: 15)

"Dan  ketabuilah  bahwa  hartamu  dan  anak-anakmu  itu hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)
Fitnah  harta  dan  anak-anak  itu  ialah kadang-kadang harta atau anak-anak melalaikan manusia dari  kewajiban kepada  Tuhannya  dan  melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah  harta-hartamu dan  anak-anakmu  melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka  mereka  itulah orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana  dikhawatirkan  manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh  wanita,  terfitnah  oleh  istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan,  dan menyibukkan   mereka   dengan   kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan  melalaikan  mereka  dari
kepentingan-kepentingan    umum.   Mengenai   hal   ini Al-Qur'an memperingatkan:
"Hai   orang-orang   beriman,   sesungguhnya   diantara istri-istrimu  dan  anak-anakmu  ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka  ..." (at-Taghabun: 14)

 Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat  untuk  membangkitkan  nafsu  dan  syahwat   serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan  dapat
menghancurkan   akhlak,   mengotori   harga  diri,  dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.

Peringatan untuk berhati-hati  terhadap  wanita  disini seperti    peringatan   untuk   berhati-hati   terhadap kenikmatan harta,  kemakmuran,  dan  kesenangan  hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:

"Demi  Allah,  bukan  kemiskinan yang aku takutkan atas kamu,  tetapi  yang  aku  takutkan  ialah   dilimpahkan (kekayaan)  dunia  untuk  kamu  sebagaimana dilimpahkan untuk   orang-orang   sebelum   kamu,    lantas    kamu memperebutkannya      sebagaimana     mereka     dahulu berlomba-lomba  memperebutkannya,  lantas  kamu  binasa karenanya  sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)

Dari hadits ini tidak  berarti  bahwa  Rasulullah  saw. hendak  menyebarkan  kemiskinan,  tetapi  beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan  itu, dan  mendampingkan  kemiskinan  dengan  kekafiran. Juga tidak  berarti  bahwa  beliau  tidak  menyukai  umatnya mendapatkan  kelimpahan  dan  kemakmuran  harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:

"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik"  (HR. Ahmad  4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya  menurut  syarat  Muslim,  dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan  hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan)  yang  licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh  ke  dalam  jurang  tanpa
mereka sadari.

Catatan kaki:
 
1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam Fatwa-fatwa Kontemporer  jilid I ini. ^

Monday, 5 January 2015

POSISI DAN KAEDAH LAYANAN SUAMI TERHADAP ISTERI


HAK ISTERI ATAS SUAMI
 
Pertanyaan:
Saya menikah  dengan  seorang  laki-laki  yang  usianya lebih  tua  daripada saya dengan selisih lebih dari dua puluh tahun. Namun,  saya  tidak  menganggap  perbedaan usia    sebagai   penghalang   yang   menjauhkan   saya daripadanya atau membuat saya lari  daripadanya.  Kalau dia  memperlihatkan  wajah,  lisan,  dan hatinya dengan baik sudah barang tentu hal  itu  akan  melupakan  saya terhadap  perbedaan  usia ini. Tetapi sayang, semua itu tak saya peroleh. Saya tidak pernah  mendapatkan  wajah yang  cerah,  perkataan  manis, dan perasaan hidup yang menenteramkan.   Dia   tidak   begitu   peduli   dengan keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.

Dia  memang  tidak  bakhil  dalam  memberi  nafkah  dan pakaian, sebagaimana dia juga  tidak  pernah  menyakiti badan  saya.  Tetapi,  tentunya  bukan  cuma  ini  yang diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya.  Saya melihat  posisi  saya  hanya sebagai objek santapannya, untuk  melahirkan  anak,  atau   sebagai   alat   untuk bersenang-senang  manakala  ia  butuh bersenang-senang. Inilah yang menjadikan saya merasa  bosan,  jenuh,  dan hampa.  Saya  merasakan  hidup  ini sempit. Lebih-lebih bila saya melihat teman-teman saya yang  hidup  bersama suaminya   dengan   penuh  rasa  cinta,  tenteram,  dan bahagia.

Pada suatu kesempatan saya  mengadu  kepadanya  tentang sikapnya  ini,  tetapi  dia  menjawab  dengan bertanya, "Apakah aku kurang dalam  memenuhi  hakmu?  Apakah  aku bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"

Masalah  inilah  yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz agar suami isteri  itu  tahu:  Apakah  hanya  pemenuhan kebutuhan  material  seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal itu saja yang  menjadi  kewajiban  suami terhadap  isterinya  menurut hukum syara'? Apakah aspek kejiwaan tidak ada nilainya  dalam  pandangan  syari'at Islam yang cemerlang ini?

Saya,  dengan  fitrah  saya  dan  pengetahuan saya yang rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam  demikian. Karena  itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan aspek psikologis  ini  dalam  kehidupan  suami  isteri, karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.

Semoga Allah menjaga Ustadz.
 
Jawaban:
Apa yang  dipahami  oleh  saudara  penanya  berdasarkan fitrahnya   dan  pengetahuan  serta  peradabannya  yang rendah itu  merupakan  kebenaran  yang  dibawakan  oleh syari'at Islam yang cemerlang.

Syari'at   mewajibkan   kepada   suami  untuk  memenuhi kebutuhan  isterinya  yang  berupa  kebutuhan  material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing,  atau seperti  yang  dikatakan  oleh  Al  Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut)

Namun,   Syari'at   tidak   pernah    melupakan    akan kebutuhan-kebutuhan  spiritual  yang  manusia  tidaklah bernama     manusia     kecuali      dengan      adanya kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga  kuno:  "Maka  karena  jiwamu  itulah   engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."

Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta  dan salah    satu    nikmat   yang   diberikan-Nya   kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
 
"Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah   Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya, dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih dan sayang. Sesungguhnya  pada  yang   demikian   itu   benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)
 
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup  bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara  keduanya,  yang  semua  ini   merupakan   aspek kejiwaan,  bukan  material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami isteri yang  sunyi  dari  aspek-aspek  maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.

Dalam  hal  ini banyak suami yang keliru - padahal diri mereka sebenarnya baik - ketika  mereka  mengira  bahwa kewajiban  mereka  terhadap isteri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat  tinggal,  tidak  ada  yang lain  lagi.  Dia  melupakan  bahwa  wanita (isteri) itu bukan hanya  membutuhkan  makan,  minum,  pakaian,  dan lain-lain  kebutuhan  material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik,  wajah  yang  ceria,  senyum  yang manis,   sentuhan   yang  lembut,  ciuman  yang  mesra, pergaulan yang penuh kasih  sayang,  dan  belaian  yang lembut   yang   menyenangkan   hati  dan  menghilangkan kegundahan.

Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab   pergaulan   diantara   mereka   yang   kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua  itu. Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang  baik  terhadapnya  dan sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:

"...  Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma'ruf (patut) ..., (An Nisa': 19)

"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil  dari kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )

"...  Dan  berbuat  baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin, tetangga  yang  dekat  dan  tetangga  yang  jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa: 36)
 

Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.

Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik kepada  mereka  (isteri)  bukan  cuma  tidak  menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka,  dan penyantun  ketika  mereka  sedang  emosi  serta  marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah saw.  Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula  salah  seorang  dari mereka menghindari beliau sehari semalam.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu kalau engkau  marah  dan  kalau  engkau  rela."  Aisyah bertanya,  "Bagaimana  engkau  tahu?"  Beliau menjawab, "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi  Tuhan
Muhammad,'  dan  bila  engkau  marah,  engkau  berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah  menjawab,  "Betul,
(kalau   aku  marah)  aku  hanya  menghindari  menyebut namamu."

Dari adab  yang  dikemukakan  Imam  Ghazali  itu  dapat ditambahkan  bahwa  disamping  bersabar  menerima  atau menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu,  bergurau, dan  bermain-main  dengan  mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan  hati  wanita.  Rasulullah  saw. biasa   bergurau   dengan   isteri-isteri   beliau  dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan   berakhlak,  sehingga  diriwayatkan  bahwa  beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.

Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras  itu  -  pernah berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah seorang laki-laki."

Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah  membenci alja'zhari  al-jawwazh,"  dikatakan bahwa yang dimaksud ialah  orang  yang  bersikap  keras   terhadap   isteri (keluarganya)   dan   sombong  pada  dirinya.  Dan  ini merupakan salah satu makna  firman  Allah:  'utul.  Ada yang  mengatakan  bahwa  lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.

Keteladanan tertinggi bagi semua itu  ialah  Rasulullah saw.   Meski   bagaimanapun   besarnya   perhatian  dan banyaknya kesibukan beliau dalam  mengembangkan  dakwah dan  menegakkan  agama,  memelihara jama'ah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh  yang  senantiasa  mengintainya dari luar, beliau tetap  sangat  memperhatikan  para  isterinya.   Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca  Al-Qur'an, dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya  berdiri  ketika  melakukan  shalat  lail,  dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun,  sesibuk  apa  pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau  penuhi.Jadi,  aspek-aspek  Rabbani  tidaklah  melupakan beliau terhadap aspek  insani  dalam  melayani  mereka  dengan memberikan  makanan  ruhani  dan  perasaan  mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.

Dalam  menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:

"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya  ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar  menemani  Aisyah  bermain. Apabila  isterinya  (Aisyah)  menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah  minum  dari  suatu  bejana,  maka  beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan  mulut  beliau  di  tempat  mulut  Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."

Beliau  biasa  bersandar  di  pangkuan  Aisyah,  beliau membaca  Al  Qur'an  sedang  kepala  beliau  berada  di pangkuannya.  Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau  menyuruhnya   memakai   sarung,   lalu   beliau memeluknya.  Bahkan,  pernah  juga  menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.

Diantara kelemahlembutan dan akhlak  baik  beliau  lagi ialah   beliau   memperkenankannya  untuk  bermain  dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang  Habsyi ketika  mereka  sedang  bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau  untuk  melihat permainan  orang-orang  Habsyi  itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan  keluar  dari rumah bersama-sama.

Sabda Nabi saw:

"Sebaik-baik  kamu  ialah  yang  paling  baik  terhadap keluarganya, dan aku  adalah  orang  yang  paling  baik terhadap keluargaku."

Apabila   selesai   melaksanakan   shalat  ashar,  Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi)  isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu tiba  giliran  beliau  untuk  bermalam. Aisyah berkata, "Rasulullah  saw.  tidak   melebihkan   sebagian   kami terhadap  sebagian  yang  lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati  tiap-tiap  isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga  sampai  kepada  isteri  yang  menjadi   giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ."1

Kalau  kita  renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi saw.  tentang  pergaulan  beliau dengan  isteri-isteri  beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan   mendekati  mereka.  Tetapi  beliau  mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan  berarti beliau   bersikap  pilih  kasih,  tetapi  karena  untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau  mengawini  Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang  laki-laki  pun  selain  beliau. Kebutuhan  wanita  muda  seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan disini bukan  sekadar  nafkah,  pakaian,  dan hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting  dan  lebih  dalam  daripada semua  itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi  saw.  selalu  ingat  aspek  tersebut   dan senantiasa   memberikan   haknya   serta  tidak  pernah melupakannya  meskipun  tugas  yang  diembannya  besar, seperti  mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.

"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu."

Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Catatan kaki:
 
1.Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.

Thursday, 1 January 2015

MUDAH TERANGSANG LANTAS MENGELUARKAN MANI


SAYA MUDAH TERANGSANG
 
Pertanyaan:
Saya adalah seorang pelajar  sekolah  lanjutan.  Saya  cinta kepada  agama  dan  tekun  beribadah. Tetapi saya menghadapi suatu  kendala,  yaitu   mudah   terangsang   bila   melihat pemandangan  yang  membangkitkan  syahwat, dan hampir-hampir saya tidak dapat menguasai diri dalam hal ini.  Keadaan  ini membuat  saya  repot  karena  harus sering mandi dan mencuci pakaian  dalam.  Bagaimana  saran  Ustadz  untuk  memecahkan problematika  ini  sehingga  saya dapat memelihara agama dan ibadah saya dengan baik?
 
Jawaban: 
Pertama, saya berdoa  semoga  Allah  memberi  berkah  kepada Anda,  pemuda  yang begitu besar perhatiannya terhadap agama yang lurus ini, dan saya minta kepada Anda  agar  senantiasa berpegang teguh dengannya dan tetap antusias kepadanya, jauh dari teman-teman yang jelek  perilakunya,  serta  senantiasa menjaga  agama  dari  gelombang  materialisme dan kebebasan, yang telah banyak merusak  pemuda-pemuda  dan  remaja-remaja kita.  Juga  saya  sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa Anda bisa termasuk anggota tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah  pada hari tidak ada lagi naunngan selain naungan-Nya, selama Anda taat kepada-Nya.
 
Kedua,  saya  nasihatkan   kepada   saudara   penanya   agar memeriksakan   diri   kepada  dokter  spesialis,  barangkali problema yang  dihadapi  itu  semata-mata  berkaitan  dengam suatu  organ  tubuh  tertentu, dan para dokter ahli tentunya memiliki obat untuk penyakit seperti ini. Allah berfirman:
 
"...  maka   bertanyalah   kepada   orang   yang   mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An Nahl: 43)
 
Rasulullah saw. bersabda:
 
"Tidaklah  Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Ia juga menurunkan obat untuknya." (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
 
Ketiga, saya nasihatkan juga kepada  Anda  agar  menjauhi sekuat   mungkin  -  segala  hal  yang  dapat  membangkitkan syahwatnya  dan   menjadikannya   menanggung   beban   serta kesulitan  (mandi  dan  sebagainya).  Adalah suatu kewajiban bagi  setiap  mukmin  untuk  tidak  menempatkan  dirinya  di tempat-tempat  yang dapat menimbulkan kesukaran bagi dirinya dan menutup semua pintu  tempat  berhembusnya  angin  fitnah atas diri dan agamanya. Simaklah kata-kata hikmah berikut:
 
"Orang  berakal  itu bukanlah orang yang pandai mencari-cari alasan  untuk  membenarkan  kejelekannya  setelah   terjatuh kedalamnya,  tetapi  orang  berakal  ialah orang yang pandai menyiasati kejelekan agar tidak terjatuh ke dalamnya."
 
Diantara tanda orang salih  ialah  menjauhi  perkara-perkara yang  syubhat  sehingga tidak terjatuh ke dalam perkara yang haram, bahkan menjauhi sebagian yang  halal  sehingga  tidak terjatuh kedalam yang syubhat. Rasulullah saw. Bersabda:
 
"Tidaklah  seorang  hamba  mencapai  derajat muttaqin (orang yang takwa) sehingga  ia  meninggalkan  sesuatu  yang  tidak terlarang karena khawatir terjatuh pada yang terlarang." (HR Tirmidzi, Ibnu  Majah,  dan  Hakim  dari  Athiyyah  as-Sa'di dengan sanad sahih)
 
Keempat,  setiap  yang  keluar  dari  tubuh manusia - karena melihat  pemandangan-pemandangan  yang  merangsang  -  belum tentu mani (yang hukumnya wajib mandi jika ia keluar). Boleh jadi yang keluar  itu  adalah  madzi,  yaitu  cairan  putih, jernih,  dan rekat, yang keluar ketika sedang bercumbu, atau melihat  sesuatu  yang  merangsang,   atau   ketika   sedang mengkhayalkan   hubungan   seksual.  Keluarnya  madzi  tidak disertai  syahwat  yang  kuat,  tidak  memancar,  dan  tidak diahkiri dengan kelesuan (loyo, letih), bahkan kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Madzi  ini  hukumnya  seperti  hukum kencing,  yaitu  membatalkan  wudhu (dan najis) tetapi tidak mewajibkan mandi. Bahkan Rasulullah saw. memberi  keringanan untuk  menyiram  pakaian yang terkena madzi itu, tidak harus mencucinya.
 
Diriwayatkan dari Sahl bin Hanif, ia berkata,  "Saya  merasa melarat  dan  payah  karena  sering  mengeluarkan  madzi dan mandi, lalu saya adukan  hal  itu  kepada  Rasulullah  saw., kemudian   beliau  bersabda,  'Untuk  itu,  cukuplah  engkau berwudhu.' Saya bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang  mengenai  pakaian  saya?  Beliau  menjawab,  'Cukuplah engkau mengambil air setapak tangan,  lalu  engkau  siramkan pada  pakaian  yang terkena itu.'" (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Beliau berkata, hasan sahih)
 
Menyiram pakaian (pada bagian yang terkena madzi) ini  lebih mudah  daripada  mencucinya,  dan  ini  merupakan keringanan serta kemudahan  dari  Allah  kepada  hamba-hamba-Nya  dalam kondisi  seperti  ini yang sekiranya akan menjadikan melarat jika harus mandi berulang-ulang. Maha Benar Allah Yang  Maha Agung yang telah berfirman:
 
"...  Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan  kamu  dan  menyempurnakan  nikmat-Nya  bagimu, supaya kamu bersyukur." (Al-Maa'idah: 6)
 
Wallahu a'lam.
Dipetik daripada Fatwa-fatwa kontemporari Dr Yusuf al-Qaradhawi.